Bisnis.com, JAKARTA - Menjelang musim angin barat, pemerintah bersiap membuka impor ikan makarel hingga 9.000 ton guna memenuhi bahan baku industri pindang dan pengalengan ikan di Tanah Air.
Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian
Kelautan dan Perikanan Saut P. Hutagalung menuturkan Desember-Januari merupakan musim angin barat yang menyulitkan nelayan dalam menangkap ikan. Akibatnya, realisasi tangkapan rendah dan bahan baku untuk industri pengolahan menyusut.
"Kita mau antisipasi musim gelombang tinggi dengan membuka impor untuk memenuhi kebutuhan Desember tidak sampai 9.000 ton. Saat ini belum dibuka," ujar Saut, Senin (25/11/2013).
Dibukanya keran impor ikan makarel, lanjutnya, tergantung pada produksi di sejumlah daerah tangkapan dan produksi di negara lain. Hal tersebut masih menunggu evaluasi dari pemerintah daerah dan asosiasi industri pengolahan.
"Kalau kita buka keran impor tetapi komoditasnya tidak ada kan percuma juga. Sekarang kita tunggu dari asosiasi, kalau memang ini sudah waktunya ya kita fasilitasi," tutur Saut.
Importasi tersebut terpaksa dilakukan guna menyediakan bahan baku industri pengolahan ikan kaleng dan ikan pindang yang cenderung langka pada musim angin barat. Tahun lalu, realisasi impor ikan makarel mencapai 85.000 ton, sedangkan Januari-Oktober 2013 telah mencapai 60.000 ton. Adapun izin impor yang telah dikeluarkan KKP mencapai 2.200 ton namun belum direalisasikan.
"Kalau tidak impor, industri pemindangan kosong bahan bakunya. Kemungkinan volumenya juga tidak terlalu banyak karena hanya untuk produksi Desember," katanya.
Direktur Pengolahan Hasil P2HP Santoso mengatakan saat ini terdapat 12 pabrik pengolahan ikan cakalang, tongkol, dan tuna di Indonesia. Industri tersebut tersebut tersebar di Sumatera Utara, Bali, Jawa Timur, Karawang Jawa Barat, dan Sulawesi Utara.
"Rata-rata kapasitas pabriknya 100 ton/hari. Jadi butuh bahan baku yang sangat banyak. Nah saat musim gelombang tinggi, kita memang impor bahan baku," ujarnya.
Menurut Santoso, impor bahan baku tersebut relatif kecil, yakni tidak sampai 20% dari total kebutuhan industri.