Bisnis.com, JAKARTA - Pengembangan sapi di Indonesia membutuhkan dukungan infrastruktur memadai guna menyukseskan program swasembada daging sapi 2014.
"Kendala infrastruktur ini tidak dapat ditangani sendiri tetapi harus melibatkan instansi lain seperti tersedianya pelabuhan ternak termasuk layanan bongkar muat," ujar Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro, dalam keterangan pers, Senin (18/11).
Dia menjelaskan keterbatasan infrastruktur membuat sapi mendapat perlakuan yang tidak baik selama pengiriman dari produsen (peternak) ke tempat pemotongan hewan, sehingga membuat bobot badan sapi susut sampai 30%.
Dia menambahkan guna menghadapi persoalan tersebut tidak bisa diserahkan seluruhnya kepada Ditjen Peternakan. Ada sejumlah hal di luar kemampuan dan kewenangan instansinya, seperti untuk pelabuhan dan kapal ada di bawah kewenangan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perdagangan.
Dia mengungkapkan Presiden SBY juga mendukung program aksi terpadu mewujudkan swasembada pangan termasuk daging yakni melalui ketersediaan lahan, infrastruktur pendukung, serta pemanfaatan teknologi, jelas dia.
Menurutnya, prioritas yang akan dilaksanakan yakni pembangunan infrastruktur berupa pelabuhan, sarana bongkar muat, dan kapal ternak sehingga penurunan bobot sapi bisa dikurang tinggal 5%, serta sapi yang cacat atau mati dapat berkurang menjadi 0%.
Syukur menjelaskan setelah sapi tiba seharusnya jangan langsung dipotong, tetapi dimasukan ke dalam kandang penampungan kemudian dalam waktu 1 sampai 1,5 bulan diberi pakan yang cukup agar berat badan sapi bertambah.
"Untuk mewujudkan hal tersebut membutuhkan lahan sangat besar untuk menampung sapi dari sentra produksi yang sebenarnya dapat dikerjasamakan dengan BUMN yang memiliki aset besar seperti Perum Jasatirta II dan PTPN VIII," ujarnya.
Menurutnya, masih ada lahan yang belum termanfaatkan dikedua BUMN sehingga kalau bisa disediakan 400 hektare dari keduanya akan sangat bermanfaat, tinggal dicarikan pengelolanya.
Dia menjelaskan langkah selanjutnya revitalisasi RPH yang memang menjadi tugas Ditjen Peternakan, tetapi untuk pengelolaannya diserahkan kepada Pemda tempat RPH itu berada.
Sejumlah lokasi RPH telah dibangun yakni Bima, Sumbawa, Lombok, Bali, NTT (dikelola swasta), Malang, Surabaya, Ponorogo, dan Jabotabek.
"Selama ini untuk mengantar sapi ke rumah potong hewan (RPH) di sejumlah daerah seringkali mendapat perlakuan yang kurang baik seperti dimasukan ke kapal dengan cara digantung atau kalau kapal tidak bisa merapat sapi dipaksa berenang,"jelasnya.
Berdasarkan data Ditjen Peternakan produksi sapi nasional tercatat 575.000 ton yang siap potong, tetapi yang menjadi daging hanya 432.000 ton, salah satunya akibat kendala pengiriman.
"Hanya saja, untuk mengelola RPH ini membutuhkan Perda agar tidak bisa sembarangan sapi dipotong harus ada peraturan dibawah kendali dan pengawasan pemerintah daerah."
Syukur mencatat baru sejumlah daerah saja yang memiliki Perda untuk mengatur RPH sejak 9 tahun terakhir baru Surabaya, Bali, dan NTT yang sudah dilengkapi Perda.
Sedangkan sapi impor, asal Australia memang memiliki kapal kargo khusus sapi, mereka ditempatkan ruang berpendingin, mendapat pakan dan minum cukup, serta naik turun dilengkapi jalur khusus sehingga bobotnya terjaga bahkan bertambah, jelas dia.
Syukur mencatat akibat perlakuan yang tidak baik selama pengiriman tidak hanya bobot yang berkurang, sebanyak 10 persen dari sapi yang dikirim tersebut mengalami cacat bahkan mati.
Akibat pengawasan yang kurang memadai di sejumlah daerah disinyalir terdapat sekitar 100.000 ekor sapi betina yang ikut dipotong. Padahal, jika mengacu kepada undang-undang, ada sanksi pidananya.