Bisnis.com, JAKARTA - Menteri BUMN Dahlan Iskan berencana memanggil jajaran direksi PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk, Selasa (19/11), untuk menyelesaikan permasalahan persinggungan (cross section) pipa gas.
Di sisi lain, pemerintah sendiri hingga kini belum secara tegas untuk segera menerapkan pemakaian pipa bersama (open access ) dan pemisahan (unbundling) antara fungsi pengangkutan dan niaga sesuai Permen ESDM No 19/ 2009.
“Mereka belum sepakat sampai sekarang. Selasa pekan depan akan saya panggil,” tutur Dahlan seperti dilaporkan harian Bisnis Indonesia, Jumat (15/11/2013).
Dalam pemanggilan itu, Dahlan ingin mendengarkan penjelasan dari kedua belah pihak, khususnya tim teknisi. Kondisi ini turut membuat kedua perusahaan pelat merah ‘perang’ argumen di media.
Dia mendukung kedua BUMN energi yang sama-sama ngotot memperjuangkan kepentingan per usahaan satu sama lain.
“Saya setuju masing-masing direksi ngotot. Direksi PGN harus ngotot, juga direksi Pertamina karena mereka harus mempertahankan perusahaannya,” ujarnya.
Meskipun demikian, Dahlan enggan mengungkapkan poin yang akan dibahas dalam pemanggilan kedua perusahaan pelat merah itu.
Berkaitan dengan implementasi regulasi Permen ESDM No. 19/2009, Pengamat energi ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai kebijakan pemakaian pipa gas secara bersama (open access) bukanlah bentuk liberalisasi hilir gas.
“Liberalisasi itu kalau harga gas diatur pemerintah. Tetapi, sekarang ini, pemerintah masih tetap mengatur harga gas di konsumen,” kata nya.
TETAPKAN TOLL FEE
Menurutnya, pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga mengatur atau menetapkan ongkos transportasi (toll fee) pipa gas.
“Jadi, open access bukanlah bentuk liberalisasi, karena harganya tetap diatur pemerintah,” katanya.
Pernyataan Pri Agung menanggapi pernyataan Vice President Corporate Communication PGN Ridha Ababil yang menyebutkan pelaksanaan open access dan unbundling dapat menghambat pembangunan infrastruktur baru, karena hanya memunculkan trader gas yang tidak mampu membangun fasilitas.
Menurut Ridha, setidaknya ada 63 trader gas yang muncul setelah diberlakukannya UU No. 22/2001 dan turunannya. Sebagian besar trader itu tidak mampu membangun infrastruktur, dan hanya menjual gas di pasar yang sudah ada.
Selengkapnya baca di harian Bisnis Indonesia, Jumat (15/11/2013) atau di http://epaper.bisnis.com/index.php/ePreview?IdCateg=20131115224#