Bisnis.com, JAKARTA - Kesepakatan antara tim negosiasi Pemerintah Indonesia dan Jepang yang diwakili oleh Nippon Asahan Aluminium (NAA) terkait pengambilalihan saham PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) belum selesai.
Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI DPR Bidang Keuangan, Perencanaan Pembangunan dan Perbankan, mengatakan nilai buku PT Inalum sebesar US$558 juta ternyata belum menjadi angka final. Nilai tersebut belum menjadi kesepakatan antara tim perunding Indonesia dan Jepang.
"Kalau US$558 juta, Jepang sudah oke. Tapi kita [tim perunding Indonesia] tetap menginginkan harga lebih rendah dari US$558 juta. Kemungkinan melalui KAP [kantor akuntan publik] yang ditunjuk bersama antara pemerintah Indonesia dengan Jepang," ungkapnya, Rabu (30/10/2013).
Dia mengatakan dari keterangan pemerintah dalam rapat koordinasi Komisi XI dan Menteri Keuangan Chatib Basri, disebutkan bahwa nilai pengambilalihan PT Inalum oleh pemerintah didasarkan pada hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang berakhir pada 31 Oktober 2013.
Angka sebesar US$558 juta itu merupakan angka prediksi yang belum final. Adapun angka yang sudah final adalah berdasarkan audit BPKP pada 31 Maret 2013 sebesar US$453 juta. Namun, pihak Jepang menginginkan nilai buku sebesar US$624 juta.
"Kalau angka Jepang aktual 31 Maret, artinya pada 31 Oktober bisa lebih besar lagi dari US$624, kemungkinan Jepang bisa meminta lebih besar dari 31 Oktober," paparnya.
Pemerintah selama ini menyiapkan Rp7 triliun dengan rincian Rp2 triliun dalam APBN-P 2012 dan Rp5 triliun dalam APBN-P 2013, untuk mengambil alih Inalum setelah 30 tahun dikuasai Jepang.
Negeri Matahari Terbit sejauh ini memiliki saham PT Inalum 58,88%, sedangkan Indonesia hanya 41,18%.