Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah meyakini risiko capital outflow sudah mengecil meskipun Asia Development Bank menilai pasar obligasi Indonesia sangat rentan terhadap faktor eksternal.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengamini penilaian ADB mengingat obligasi negara pernah mengalami penurunan imbal hasil (yield) paling tajam selama 2011-2012.
Ketika itu, Amerika Serikat melancarkan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) yang membuat arus modal asing mengalir ke Indonesia dan negara berkembang (emerging markets) lainnya.
Imbal hasil surat utang negara (SUN) waktu itu turun ke level 4% dari hampir 7% atau lebih rendah dari yield surat utang negara-negara di kawasan Eropa yang terbang di atas 5%.
Bambang melihat posisi tawar SUN yang melejit itu sesungguhnya tidak wajar karena investor berbondong-bondong membeli surat utang Indonesia saat rating utang sebetulnya tidak lebih baik dari Eropa.
Saat ini, kondisi itu berbalik arah saat muncul kabar bank sentral AS The Federal Reserve bakal mengurangi stimulus moneter US$85 miliar per bulan yang selama ini mengalir ke pasar utang negara berkembang.
“Jadi, ketika akhirnya ada capital outflow, ada sentimen yang mungkin kurang baik bagi emerging market, termasuk Indonesia, ya yield-nya langsung loncat ke tingkat yang kira-kira mencerminkan Indonesia apa adanya,” katanya, Jumat (27/9/2013).
Kendati demikian, Bambang melihat risiko capital outflow secara besar-besaran sudah mengecil mengingat porsi kepemilikan asing pada surat berharga negara (SBN) sudah relatif stabil hampir 3 bulan ini setelah turun menjadi 30% mulai Juli.
Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu per 25 September, kepemilikan asing pada SBN yang dapat diperdagangkan Rp288,24 triliun atau 30,96% terhadap total SBN. Padahal pada Juni, porsi kepemilikan asing masih 31,85% dan 32,82% pada Mei.