Bisnis.com, NUSA DUA – China menganjurkan penerapan multilateral currency swap di antara anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik guna mengantisipasi ketidakpastian ekonomi menyusul rencana The Federal Reserve mengurangi stimulus moneter.
Menteri Keuangan China Lou Jiwei mengatakan ekonomi dunia mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, tetapi masih penuh ketidakpastian, terlebih dengan adanya tarik ulur rencana The Fed mengurangi pembelian obligasi.
Pemangkasan pelonggaran kuantitatif itu menurutnya dapat menimbulkan fluktuasi pada negara-negara berkembang di kawasan Asia yang sebelumnya ikut menikmati aliran likuiditas selama AS melancarkan quantitative easing (QE) sejak 2008.
Akibatnya, ketika The Fed berencana mengurangi QE, likuiditas di negara-negara berkembang berubah seiring arus modal yang kembali ke negara asalnya.
“Ada persoalan mobilitas di sini karena kejutan eksternal yang terjadi sementara. Beberapa menteri [menteri anggota APEC] berbicara tentang multilateral currency swap. Ini waktu yang baik untuk menggunakan multilateral swap,” katanya di sela APEC Finance Minister Meeting, Jumat (20/9/2013).
Multilateral currency swap adalah mekanisme cadangan devisa di antara beberapa negara untuk mengantisipasi depresiasi mata uang ketika terjadi krisis keuangan di negara yang terlibat dalam kesepakatan.
Salah satu kesepakatan multilateral yang diikuti Indonesia adalah Chiang Mai Initiative (CMI) yang melibatkan ASEAN, China, Jepang dan Korea Selatan, yang berhasil menghimpun cadangan devisa US$240 miliar pada 2012.
Lou menuturkan situasi di negaranya agak sedikit berbeda dengan negara lain. Kebijakan QE hanya menimbulkan sedikit dampak pada China karena Negeri Tirai Bambu itu menerapkan kontrol likuiditas untuk mengurangi kejutan eksternal.
“Beberapa pihak khawatir akan ekonomi China, tapi itu tidak perlu,” ujarnya.
Pertumbuhan ekonomi China memang melambat, tetapi menurut Lou itu dibandingkan dengan kondisi 2-3 tahun lalu saat ekonomi negaranya tumbuh sangat pesat.
Dia menilai proyeksi pertumbuhan China 7,5% tahun ini masih cukup tinggi meskipun dipangkas dari target semula 8%.
Kendati demikian, Lou sepakat untuk memperkuat reformasi struktural dan melakukan beberapa kebijakan penyesuaian guna menghadapi situasi ekonomi yang tidak pasti. (ltc)