Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Jeblok, Impor Barang Modal dan Bahan Baku Anjlok

Bisnis.com, JAKARTA – Pelemahan nilai tukar rupiah menjadi penyebab pelaku usaha menunda impor barang modal dan menekan impor bahan baku untuk kepentingan ekspansi usaha.

Bisnis.com, JAKARTA – Pelemahan nilai tukar rupiah menjadi penyebab pelaku usaha menunda impor barang modal dan menekan impor bahan baku untuk kepentingan ekspansi usaha.

Hal itulah yang menyebabkan impor bahan baku/penolong Januari-Juli secara tahunan (year on year) melambat, yakni hanya naik 3,89% menjadi US$85,16 miliar atau tumbuh di bawah rata-rata sekitar 30% setiap periode yang sama.

Data impor barang modal lebih mengenaskan lagi, yakni anjlok 17,48% (yoy) menjadi US$18,87 miliar selama Januari-Juli. Realisasi impor kedua golongan barang ini merupakan yang terendah dalam 4 tahun terakhir.

Saat krisis keuangan global mampir ke Indonesia pada 2009, impor bahan baku/penolong anjlok 41,75% dan barang modal minus 6,78% karena banyak pelaku usaha menunda investasi.

“Perlambatan ekspansi usaha karena kurs dan tren perlambatan global,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, Minggu (8/9/2013).

Penundaan ekspansi yang diikuti perlambatan impor bahan baku dan barang modal memang masuk dalam skenario jangka pendek pemerintah untuk menyelamatkan transaksi berjalan dari defisit berkepanjangan.

Menteri Keuangan M. Chatib Basri sempat mengatakan perlu perlambatan investasi untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan. Artinya, impor barang modal dan bahan baku harus diperlambat.

Sebagai bantalan agar tak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat perlambatan investasi, pemerintah menyiapkan insentif fiskal berupa keringanan dalam mencicil PPh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh Pasal 25.

Wajib pajak badan di bidang industri tekstil, pakaian jadi, alas kaki, furnitur dan mainan anak, dapat membayar hanya 75% dari cicilan tiap bulan, sedangkan WP padat karya yang berorientasi ekspor hanya membayar 50% dari cicilan tiap bulan.

Jika ternyata realisasi pendapatan WP sepanjang tahun menunjukkan kewajiban PPh-nya lebih tinggi dari total cicilan yang telah diberi keringanan itu, kekurangannya tetap akan dilunasi di tahun berikutnya, sebagaimana diatur UU PPh Pasal 29.

Kebijakan itu dilakukan untuk menciptakan arus kas industri padat karya yang lebih kondusif setelah menanggung kenaikan biaya akibat tertekan oleh pelemahan ekonomi.

Namun, pengusaha nasional sekaligus Wakil Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto menilai niat pemerintah setengah hati karena pengurangan cicilan PPh hanya bersifat menunda pembayaran hingga tahun depan, sedangkan situasi ekonomi masih belum pasti.

“Pemerintah dalam situasi darurat seperti saat ini seharusnya dapat menetapkan penurunan tarif PPh badan 5% lebih rendah dari,” ujar Airlangga yang salah satu pemilik produsen kertas PT Fajar Surya Wisesa Tbk ini.

UU PPh pasal 17 ayat (2b) memungkinkan WP badan berbentuk perseroan terbuka dapat memperoleh tarif 5% lebih rendah dari tarif yang berlaku saat ini sebesar 25%, dengan syarat minimal 40% dari jumlah saham yang disetor, diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya.

Dispensasi itu memungkinkan ditetapkan tanpa harus melalui peraturan pemerintah sehingga kebijakannya dapat digulirkan segera.

Namun di sisi lain, selain karena penundaan ekspansi, perlambatan impor barang modal dan bahan baku/penolong juga akibat penerapan Permendag No 59/2012 tentang Ketentuan Angka Pengenal Importir mulai 1 April 2013.

 Sekjen Gabungan Importir Nasional Indonesia (Ginsi) Achmad Ridwan Tento menuturkan pada awal tahun masih banyak importir yang menyesuaikan API dan melengkapi dokumen terkait ketentuan hubungan istimewa dengan prinsipal di luar negeri dalam beleid itu.

Selain itu, beberapa importir produsen menggunakan gudang berikat untuk kepastian stok bahan baku, seperti industri besi dan baja. “Apabila stok itu belum dipakai, tentunya bea masuk dan PDRI [pajak dalam rangka impor] belum dibayar sehingga belum tercatat oleh BPS,” jelasnya.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Sri Mas Sari
Editor :
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper