Bisnis.com, MAKASSAR - Pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang paripurna DPR dan DPD RI ternyata tidak memuaskan bagi ekonom Sulawesi Selatan Syarkawi Rauf.
Bagi komisioner pada Komisi Pengawas Persaingan Usaha itu, nota keuangan yang disampaikan pemerintah tidak memberikan harapan akan terjadi perubahan-perubahan signifikan atas kesejahteraan masyarkat pada tahun depan.
SBY menyampaikan keterangan pemerintah atas Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014 pada Jumat (16/8/2013).
"RAPBN 2014 masih sangat konservatif dengan jumlah alokasi anggaran yang terbebani subsidi sekitar Rp360 triliun, belanja pegawai sekitar Rp260 triliun, dan belanja barang juga ratusan triliun. Sementara belanja modal untuk infrastruktur kurang dari Rp50 triliun," kata Syarkawi.
Menurutnya asumsi RAPBN 2014 terkait dengan pertumbuhan ekonomi juga tidak sesuai janji kampanye SBY pada 2009 lalu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 2014 sekitar 7%.
Asumsi pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2014 hanya sekitar 6,4%. "Seharusnya presiden SBY menjelaskan kepada publik mengapa ia tidak mampu memenuhi janji kampanyenya pada tahun 2009 yang lalu," kata mantan chief economist Bank BNI Makassar ini.
Demikian juga dengan asumsi inflasi 4,5% yang menurut Syarkawi tidak mungkin dicapai dengan alasan pemerintah tidak memiliki kredibilitas mengendalikan harga 25 komoditas strategis yang menyumbang 50% inflasi pada 2013.
Syarkawi memperkirakan pada 2014 inflasi lebih tinggi dari 4,5%, yaitu sekitar 5,5% plus minus 1%. "Asumsi ini jauh lebih realistis dibanding 4,5%," tambahnya.
Demikian juga dengan nilai tukar rupiah yang diasumsikan rata-rata sekitar Rp9.700 per dollar. Menurutnya perlu dipatok nilai tukar pada angka lebih kecil Rp9.500, sehingga pemerintah dituntut bekerja keras.
Dengan angka Rp9.700 per dollar, katanya, tidak membutuhkan kerja keras dari pemerintah untuk mencapainya.
Selain itu, anggaran pemerintah dalam RAPBN 2014 untuk kesejahteraan juga sangat kecil dibandingkan belanja pegawai.
"Hal ini berarti bahwa masyarakat miskin atau yang pendapatannya rendah tidak boleh berharap banyak terhadap pemerintah ke depan," kata dosen ekonomi Universitas Hasanuddin itu.
Demikian juga dengan daerah di kawasan timur Indonesia (KTI) yang dinilai tak dapat alokasi yang kecil dibandingkan dengan Pulau Jawa dan Sumatera. Idealnya, kata Syarkawi, dana APBN dialokasikan KTI, sedangkan Jawa dan Sumatera diberikan porsi kepada sektor swasta.