Bisnis.com, JAKARTA - Joanna Agustina, warga negara Indonesia yang bekerja sebagai pramugari di Singapore Airlines Ltd, memutuskan membeli sebuah unit apartemen di daerah Bedok, Singapura, pada tahun lalu. Alasannya simpel. Ingin bekerja dan kondisi negara itu lebih stabil dibandingkan di Tanah Air.
“Jika saya memutuskan untuk menyewakan apartemen tersebut di kemudian hari, pendapatan dari sewanya saya yakin akan sepadan dengan mortgage [KPR] yang harus saya bayar,” ungkapnya.
Saat ini, dia menanti penyelesaian pembangunan apartemen tersebut yang dijanjikan pada akhir 2015. Untuk sementara, dia tinggal bersama kakaknya di negara yang sama. Joanna adalah salah satu contoh dari sekian banyak warga Indonesia yang menanamkan dananya di sektor properti luar negeri.
Motif mereka biasanya beragam, ditempati sendiri, disewakan, atau untuk anak-anak mereka yang sekolah di negara itu.
Perusahaan riset DTZ sempat melansir pada 3 bulan pertama tahun ini, di Singapura saja, WNI tercatat paling tidak telah membeli 55 unit properti. Harga unit-unit tersebut berkisar lebih dari S$1,5 juta—S$5 juta.
Terkait hal itu, Anton Sitorus, Kepala Riset Perusahaan Konsultan Properti Jones Lang Lasalle Indonesia, menuturkan dalam berinvestasi di sektor properti luar negeri ada dua hal yang harus diperhatikan oleh calon investor.
Hal yang pertama adalah regulasi kepemilikan properti untuk warga asing masing-masing negara, sebab tiap pemerintah pasti punya kebijakan sendirisendiri.
Singapura, misalnya. Pemerintah negara tersebut menetapkan warga asing harus membayar ABSD (additional buyer’s stamp
duty) atau bea pemilikan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
Otoritas pertanahan negara tersebut, URA (Urban Redevelopment Authority) mencatat ABSD yang harus dibayar adalah
sebesar 15% dari nilai properti per awal 2013.
Hal itu berbeda pula dengan Australia. Masing-masing negara bagian menetapkan regulasi yang bervariasi terhadap kepemilikan properti oleh warga asing, baik dari sisi pajak maupun pembatasan minimal harga.
REGULASI DAN KEUNTUNGAN
Oleh karena itu, lanjut Anton, sangat penting bagi calon investor untuk memahami secara detail regulasi-regulasi semacam ini, supaya tidak terbelit berbagai masalah yang mungkin muncul di lapangan. Hal-hal seperti tingkat suku bunga mortgage atau pinjaman juga menjadi pertimbangan tersendiri.
Hal berikutnya yang harus diperhatikan oleh para calon investor adalah potensi imbal hasil maupun keuntungan yang mungkin diperoleh sesuai kondisi pasar negara yang bersangkutan. Faktor nilai tukar mata uang juga perlu dijadikan salah satu pertimbangan yang masuk dalam kategori ini.
“Dua hal tersebut, regulasi dan kondisi pasar, harus seiring sejalan, sebab, seperti Jakarta misalnya, potensi gain-nya tinggi dalam dua tahun terakhir tapi regulasinya belum bersahabat untuk kepemilikan warga asing, jadi ya susah,” papar Anton.
Jika dua hal itu sudah diperhatikan dan dipahami, barulah calon investor bisa mulai menanamkan dananya di sektor properti
luar negeri. Lagipula, meskipun sejumlah negara saat ini tengah memberlakukan pengetatan kepemilikan oleh warga asing, ada juga negara yang justru sedang membuka pintu lebar-lebar.
Salah satunya adalah Malaysia dengan program ‘Malaysia, My Second Home’, yang menjanjikan banyak kemudahan bagi orang asing dalam membeli properti di sana. Dengan pilihan-pilihan yang semakin banyak, kini para calon investor tinggal menghitung-hitung di negara mana dia memarkirkan asetnya, sesuai motif, regulasi, dan kondisi pasar yang berlaku.