Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) setelah melalui pembahasan selama 11 tahun.
Firman Subagyo, Wakil Ketua Komisi IV DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja RUU P3H, menuturkan regulasi tersebut hanya berlaku bagi korporasi dan organisasi yang secara terorganisir melakukan pengerusakan hutan guna kepentingan komersial.
"UU ini ditujukan kepada pelaku satu orang atau lebih. Tidak termasuk kelompok masyarakat, tetapi untuk kepentingan komersial," ujarnya di DPR hari ini, Selasa (9/7/2013).
Adapun bagi masyarakat yang tinggal di luar kawasan konservasi dan hutan lindung, imbuhnya, bisa melakukan pemanfaatan hutan asalkan mendapat izin dari pejabat setempat. Asalkan, pemanfaatannya bersifat non-komersial, seperti pembangunan rumah dan perahu pribadi.
"Setelah disahkan kami minta pemerintah melakukan sosialisasi kepada para stakeolder," tuturnya.
Kelahiran UU ini, lanjut Firman, dipicu oleh keprihatinan atas kerusakan hutan yang tidak hanya disebabkan oleh pembalakan liar, melainkan juga berbagai aktivitas ekonomi korporasi seperti perkebunan dan pertambangan yang dilakukan secara ilegal. Kerusakan hutan yang ditimbulkan merupakan perbuatan pidana dan harus ditangani dengan tindakan luar biasa.
"UU ini sudah disetujui DPR dan pemerintah pada 1 Juli 2013. Upaya menangani kerusakan hutan telah lama tapi belum efektif dan maksimal karena aturan yang ada belum tegas. Oleh karena itu UU ini tepat menjadi payung hukum bagi aparat penegak hukum dan menimbulkan efek jera," paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menuturkan UU ini diharapkan dapat meningkatkan koordinasi antara Kementerian Kehutanan dengan Kejaksaan dan Kepolisian terkait pemberantasan pengrusakan hutan.
Selain itu, UU tersebut juga mengamanatkan pembentukan lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Tugasnya a.l. mengembangkan sistem informasi P3H, melakukan pembinaan, menjalin kerjasama, hingga melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pembalakan liar.
Firman menambahkan lembaga tersebut terdiri dari 4 unsur, yakni Kepolisian, Kehutanan, Kejaksaan dan masyarakat. Lembaga tersebut harus terbentuk maksimal 12 bulan setelah UU disahkan.
"Kita harap ini bisa meningkatkan sinergitas. Kita belajar dan adopsi ini dari Brazil, mereka itu punya IBAMA. Jadi nanti lembaga ini bisa memvonis suatu perusahaan tidak boleh lagi diberikan izin atau dicabut izinnya kalau terbukti bersalah," tutur Firman.