JAKARTA-Perempuan itu bernama Sukiyah. Usianya 32 tahun, bermukim di kawasan Gunung Andong. Pagi itu, sambil mengenakan topi bundar, dia pergi meninggalkan areal pertaniannya sambil menggendong tangki penyemprot insektisida untuk tanaman kubis.
Warga lainnya di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang berudara sejuk itu, beraktivitas serupa Sukiyah, di saat kampung mereka menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung XII.
Mereka terlihat hilir mudik dengan alat pertanian masing-masing di tengah kabut tipis berarak melintasi kawasan setempat. Di antara mereka, ada yang sedang keluar rumah, berjalan kaki menuju lahan pertanian hortikultura masing-masing.
Namun, ada pula juga kembali ke kampung sekitar pukul 08.30 WIB setelah selesai merawat tanaman di areal pertaniannya.
Jumlah warga setempat sekitar 550 jiwa atau 142 kepala keluarga. Hampir semua warga yang bekerja sebagai petani sayuran di kawasan Gunung Andong itu, sedang panenan. Hasil panennya dipasok ke beberapa pasar sayuran skala besar, seperti di Kabupaten Semarang, Kota Magelang dan Yogyakarta.
Sejumlah ibu sibuk dengan urusan dapur untuk menyiapkan makanan keluarga, beberapa lainnya tampak menggendong bayinya untuk disuapi, baik di halaman rumah maupun sambil berjalan-jalan di sekitar kampung itu.
Jalan utama kampung setempat yang sudah beraspal sepanjang sekitar setengah kilometer, telah dipasangi puluhan penjor berbahan jerami sebagai pernak-pernik tuan rumah Festival Lima Gunung.
Sejumlah anak yang telah memasuki masa libur sekolah, terlihat bermain-main gamelan yang tertata di atas panggung pementasan Festival Lima Gunung.
Mereka begitu asyik bermain musik gamelan, seakan mengiringi warga yang bekerja di lahan pertanian dusun dan para perempuan yang sedang asyik di dapur, menyiapkan hidangan untuk para tamu festival.
Saat ini, sebagian besar petani Dusun Mantran Wetan yang juga bergiat dengan kesenian tradisional, seperti Jaran Papat, Topeng Ireng, Kuda Lumping, Bronto Lungit, dan Sendratari Gunung itu, sedang giat-giatnya menanam kubis, cabai merah keriting, tomat, loncang dan wortel.
Hujan yang masih sering mengguyur kawasan itu, membuat mereka tahun ini tidak menanami lahan dengan tembakau sebagai komoditas yang dibudidayakan setahun sekali saat kemarau, karena khawatir gagal panen.
Muhdi (55), Waryoto (30), dan Dian Sutopo (35), juga terlihat bergegas menuju areal pertanian untuk merawat tanaman sayuran masing-masing.
"Mau petik cabai dulu, hari ini panen kesembilan," kata Muhdi dalam logat bahasa Jawa, sambil menenteng ember dan karung plastik berjalan kaki menuju lahan pertaniannya.
Mereka adalah bagian dari petani setempat yang juga pegiat kesenian tradisional dalam wadah Sanggar Andong Jiwani Dusun Mantran, pimpinan Supadi Haryanto.
Kelompok sanggar itu, bagian dari berbagai komunitas seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang yang memprakarsai secara mandiri kegiatan tahunan, Festival Lima Gunung. Supadi selama sekitar satu tahun terakhir, juga sebagai Ketua Komunitas Lima Gunung.
Festival Lima Gunung XII yang bertema "Mulat Kahanan Sungsang" itu, berlangsung tiga hari, tanggal 28-30 Juni 2013, dengan puluhan pementasan kesenian tradisional, baik oleh berbagai grup di Komunitas Lima Gunung maupun kelompok kesenian tradisional desa-desa sekitar Dusun Mantran, serta pementasan lainnya oleh sejumlah grup kesenian dari luar daerah.
Agenda lainnya terkait dengan festival tersebut, berupa "ziarah seni" warga setempat di pemakaman cikal bakal Dusun Mantran, kenduri masyarakat di depan panggung pementasan, peluncuran buku "Sendang Sungsang" berupa kumpulan tulisan para pegiat Komunitas Lima Gunung dengan beberapa relasinya dari luar kota, arak-arakan seniman, pidato kebudayaan, pemukulan Gong Gunung, dan pelepasan burung merpati.
Untuk pementasan, mereka telah mendirikan dua panggung dengan instalasi berbahan alam, seperti jerami, tebon (pohon jagung), ranting tanaman cabai, dan anyaman bambu, masing-masing di halaman rumah warga setempat, Gianto dan Yatmin. Mereka menamai dua panggung itu sebagai "Panggung Mulat Kahanan" dan "Panggung Sungsang" yang berlatar belakang puncak Gunung Andong.
Supadi menyebut rangkaian agenda festival selama tiga hari itu telah diatur sedemikian rupa, terutama supaya warga tetap bisa merawat dan memanen sayuran masing-masing, karena kehidupan sehari-hari masyarakat tak lepas dari pertanian.
"Mereka umumnya sedang menekuni masa merawat kubis, menyiangi atau menyemprot. Sebagian lainnya ada yang panen petik cabai," kata Supadi yang juga juragan sayuran dari kawasan Gunung Andong tersebut.
Harga panenan kubis di tingkat petani setempat saat ini, berkisar Rp3.000-Rp3.500 per kilogram, cabai merah keriting sekitar Rp15.000, tomat Rp3.000, dan wortel Rp6.000.
Mereka yang memiliki sapi dan kambing juga tak melepaskan waktu paginya untuk mencari rumput di areal pertanian yang mengelilingi dusun setempat, untuk pakan ternak itu.
Hal tersebut seperti dilakukan warga setempat, Parwono (45) yang Sabtu (29/6) pagi itu ditemani sapuan kabut Gunung Andong, mencari rumput di areal pertanian sebelah utara Dusun Mantran untuk pakan dua ternak sapinya.
Supadi menyebut bahwa mereka yang memiliki ternak, menyiapkan stok rumput untuk pakan sapi atau kambingnya, terkait dengan kesibukan seluruh warga setempat sebagai tuan rumah Festival Lima Gunung XII.
Hampir setiap warga setempat mempunyai ternak, minimal satu ekor, baik sapi atau kambing.
"Biasanya merumput satu kali sehari. Karena ada festival ini, mereka merumput dua kali. Yang biasanya membawa dua 'bongkok" (ikatan rumput, red.) ditambah menjadi tiga 'bongkok' karena sekalian untuk persediaan," katanya.
Aktivitas lumrah masyarakat kawasan Gunung Andong di tengah agenda Festival Lima Gunung XII pagi itu, setidaknya membuktikan bahwa budaya pertanian dan berkesenian tak saling menggugat atau harus meninggalkan salah satunya.dusun di kawasan Gunung Andong dengan bertopi bundar meninggalkan areal pertaniannya sambil menggendong tangki penyemprot insektisida untuk tanaman kubis, pagi itu.
Warga lainnya di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang berudara sejuk itu, juga demikian tatkala kampung mereka menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung XII.
Pagi itu, mereka terlihat hilir mudik dengan alat pertanian masing-masing di tengah kabut tipis berarak melintasi kawasan setempat. Di antara mereka, ada yang sedang keluar rumah, berjalan kaki menuju lahan pertanian hortikultura masing-masing.
Namun, ada pula yang telah kembali ke kampungnya sekitar pukul 08.30 WIB setelah selesai merawat tanaman di areal pertaniannya. Jumlah warga setempat sekitar 550 jiwa atau 142 kepala keluarga.
Hampir semua warga bekerja sebagai petani sayuran di kawasan Gunung Andong itu, sedang panenan mereka setiap hari dipasok ke beberapa pasar sayuran skala besar, seperti di Kabupaten Semarang, Kota Magelang, dan Yogyakarta.
Para perempuan sibuk dengan urusan dapur untuk menyiapkan makanan keluarga, beberapa lainnya tampak menggendong bayinya untuk disuapi, baik di halaman rumah maupun sambil berjalan-jalan di sekitar kampung itu.
Jalan utama kampung setempat yang sudah beraspal sepanjang sekitar setengah kilometer itu, telah berinstalasikan puluhan penjor berbahan jerami sebagai pemeriah suasana dusun yang sedang menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung.
Sejumlah anak yang telah memasuki masa libur sekolah, pagi itu terlihat bermain-main gamelan yang tertata di atas panggung pementasan Festival Lima Gunung.
Anak-anak tabuhan main-main musik gamelan itu, terkesan mengiringi warga yang bekerja di lahan pertanian dusun dan para perempuan yang sedang asyik di dapur, menyiapkan hidangan untuk para tamu festival.
Saat ini, sebagian besar petani Dusun Mantran Wetan yang juga bergiat dengan kesenian tradisional, seperti Jaran Papat, Topeng Ireng, Kuda Lumping, Bronto Lungit, dan Sendratari Gunung itu, sedang menanam kubis, cabai merah keriting, tomat, loncang, dan wortel.
Hujan yang masih sering mengguyur kawasan itu, membuat mereka tahun ini tidak menanami lahan mereka dengan tembakau sebagai komoditas yang dibudidayakan setahun sekali saat kemarau, karena khawatir gagal panen.
Sejumlah warga, seperti Muhdi (55), Waryoto (30), dan Dian Sutopo (35), juga terlihat bergegas menuju areal pertanian untuk merawat tanaman sayuran masing-masing.
"Mau petik cabai dulu, hari ini panen kesembilan," kata Muhdi dalam logat bahasa Jawa, sambil menenteng ember dan karung plastik berjalan kaki menuju lahan pertaniannya.
Mereka adalah bagian dari petani setempat yang juga pegiat kesenian tradisional dalam wadah Sanggar Andong Jiwani Dusun Mantran, pimpinan Supadi Haryanto.
Kelompok sanggar itu, bagian dari berbagai komunitas seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang yang memprakarsai secara mandiri kegiatan tahunan, Festival Lima Gunung. Supadi selama sekitar satu tahun terakhir, juga sebagai Ketua Komunitas Lima Gunung.
Festival Lima Gunung XII yang bertema "Mulat Kahanan Sungsang" itu, berlangsung tiga hari, tanggal 28-30 Juni 2013, dengan puluhan pementasan kesenian tradisional, baik oleh berbagai grup di Komunitas Lima Gunung maupun kelompok kesenian tradisional desa-desa sekitar Dusun Mantran, serta pementasan lainnya oleh sejumlah grup kesenian dari luar daerah.
Agenda lainnya terkait dengan festival tersebut, berupa "ziarah seni" warga setempat di pemakaman cikal bakal Dusun Mantran, kenduri masyarakat di depan panggung pementasan, peluncuran buku "Sendang Sungsang" berupa kumpulan tulisan para pegiat Komunitas Lima Gunung dengan beberapa relasinya dari luar kota, arak-arakan seniman, pidato kebudayaan, pemukulan Gong Gunung, dan pelepasan burung merpati.
Untuk pementasan, mereka telah mendirikan dua panggung dengan instalasi berbahan alam, seperti jerami, tebon (pohon jagung), ranting tanaman cabai, dan anyaman bambu, masing-masing di halaman rumah warga setempat, Gianto dan Yatmin. Mereka menamai dua panggung itu sebagai "Panggung Mulat Kahanan" dan "Panggung Sungsang" yang berlatar belakang puncak Gunung Andong.
Supadi menyebut rangkaian agenda festival selama tiga hari itu telah diatur sedemikian rupa, terutama supaya warga tetap bisa merawat dan memanen sayuran masing-masing, karena kehidupan sehari-hari masyarakat tak lepas dari pertanian.
"Mereka umumnya sedang menekuni masa merawat kubis, menyiangi atau menyemprot. Sebagian lainnya ada yang panen petik cabai," kata Supadi yang juga juragan sayuran dari kawasan Gunung Andong tersebut.
Harga panenan kubis di tingkat petani setempat saat ini, berkisar Rp3.000-Rp3.500 per kilogram, cabai merah keriting sekitar Rp15.000, tomat Rp3.000, dan wortel Rp6.000.
Mereka yang memiliki sapi dan kambing juga tak melepaskan waktu paginya untuk mencari rumput di areal pertanian yang mengelilingi dusun setempat, untuk pakan ternak itu.
Hal tersebut seperti dilakukan warga setempat, Parwono (45) yang Sabtu (29/6) pagi itu ditemani sapuan kabut Gunung Andong, mencari rumput di areal pertanian sebelah utara Dusun Mantran untuk pakan dua ternak sapinya.
Supadi menyebut bahwa mereka yang memiliki ternak, menyiapkan stok rumput untuk pakan sapi atau kambingnya, terkait dengan kesibukan seluruh warga setempat sebagai tuan rumah Festival Lima Gunung XII.
Hampir setiap warga setempat mempunyai ternak, minimal satu ekor, baik sapi atau kambing.
"Biasanya merumput satu kali sehari. Karena ada festival ini, mereka merumput dua kali. Yang biasanya membawa dua 'bongkok" (ikatan rumput, red.) ditambah menjadi tiga 'bongkok' karena sekalian untuk persediaan," katanya.
Aktivitas lumrah masyarakat kawasan Gunung Andong di tengah agenda Festival Lima Gunung XII pagi itu, setidaknya membuktikan bahwa budaya pertanian dan berkesenian tak saling menggugat atau harus meninggalkan salah satunya.