BISNIS.COM, JAKARTA--Sherlly Dendeng sempat was-was dan khawatir akan nasib dua kontainer pala yang sudah merapat di pelabuhan laut Livorno, Italia baru-baru ini.
Biji pala dari Pulau Siau tersebut tengah dalam tahap pemeriksaan toksin yang merupakan salah satu bagian dari uji standar mutu internasonal yang dilakukan oleh otoritas setempat.
Dalam pertemuan singkat di Minahasa Utara, dia menceritakan bahwa beberapa hari sebelumnya dia mendapat kabar jika pala kirimannya telah lolos uji mutu. Sherlly merupakan salah satu dari eksportir pala asal Minahasa Utara.
Semenjak diterapkannya uji standar mutu internasional, khususnya untuk pemeriksaan kadar aflatoksin, Sherly mengaku kerepotan dan pekerjaan bertambah hampir tiga kali lipat di pabriknya. Mereka harus senantiasa menjaga kualitas pengeringan biji pala.
Aflatoksin adalah racun yang berasal dari jamur yang tumbuh pada pala akibat kurang optimalnya higenitas, pengeringan dan kondisi penyimpanan. Bukti ilmiah menunjukkan aflatoksin dapat menyebabkan kanker.
“Saya selalu deg-degan saat pengiriman, karena kalau tidak lolos, nama kami bisa buruk dan bisa dihentikan izin ekspor kami,” ujarnya saat kunjungan lapangan, di Desa Kauditan, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Senin (24/6).
Terjun ke industri pala sebagai anggota Asosiasi Pala Indonesia (Aspindo) di Ternate pada tahun 80-an, Sherly mulai belajar menjadi eksportir pala. Dalam perjalanannya, dia mengaku telah merasakan manisnya usaha dari eskpor pala itu.
Indonesia adalah produsen dan eksportir terbesar dengan penguasaan sekitar 75% dari pangsa pasar dunia. Eksportir pala Indonesia juga menjadi pemasok terbesar yang mengisi 80% dari total impor pasar Uni Eropa, atau setara dengan nilai tahunan sekitar 30 juta euro.
Pada akhir 2011, komoditas pala Indonesia diguncang isu aflatoksin. Semenjak isu itu, Sherlly mengaku volume ekspor pala mengalami penurunan. Hal ini juga berimbas terhadap harga jual ekspor pala dari sekitar US$20.000 per ton menjadi US$16.500 per ton.
Mencuatnya isu aflatoksin itu pun berdampak terhadap penurunan permintaan di pasar Uni Eropa terhadap pala Indonesia sebanyak 43% menjadi 23 juta euro pada 2012, dari tahun sebelumnya 41 juta euro.
Frederik Maramis, petani pala di Minahasa Utara, mengatakan jika bisnis pala yang dikelola sejak zaman nenek moyangnya tidak pernah bermasalah, sampai pada beberapa tahun yang lalu negara-negara tujuan mulai menerapkan standar ketat aflatoksin.
“Sejak ratusan tahun lalu sudah ada jamur di biji pala, tapi sekarang konsumen makin sadar terhadap dampak kesehatannya, dan mulai ketat dalam menerapkan standar makanan sehat. Kami harus menyesuaikan,” tuturnya.
Dia juga siap bekerjasama dengan pihak terkait dalam rantai pasokan guna meningkatkan mutu pala. Menurutnya, semakin baik mutu, maka dipastikan dapat mendongkrak harga jual dari pala itu sendiri.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Utara Jenny Karou mengatakan sekitar 75% kontribusi ekspor pala Indonesia, disumbang dari Sulawesi Utara a.l tersebar di Pulau Siau, Manado dan Minahasa Utara.
“Peningkatan mutu ini penting, apalagi standar ekspor pala juga meningkat. Selain itu permintaan pasar internasional cukup besar misalnya, Belanda, Italia, Amerika, Jepang dan lainnya. Tentunya, peluang ini harus kita ambil, agar tidak tersaingi oleh negara tetangga,” katanya.
Dia menjelaskan proses pengeringan pala oleh para petani maupun pengumpul masih konvensional yakni menggunakan sinar matahari dan pengasapan. Alhasil jika kondisi cuaca tidak mendukung, maka peluang berjamurnya biji pala semakin tinggi.
Selain pengeringan, tindakan pasca panen hingga pengemasan dari petani dan pengumpul pun belum berjalan optimal. Oleh karena itu, pemerintah Sulut terus mensosialisasikan peningkatan mutu pala secara tepat guna.
Pemprov Sulut pun menargetkan pertumbuhan produksi pala menembus 9.000 ton atau tumbuh 10% dari capaian tahun lalu. Jenny juga berharap pertumbuhan produksi tersebut dapat diikuti dengan peningkatan kualitas ekspor pala.
Untuk mendukung perdagangan Uni Eropa dan Indonesia, Kepala Delegasi Uni Eropa Julian Wilson bersama dengan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Gita Wirjawan telah meluncurkan program Trade Support Programme II (TSP II) pada April lalu.
Dalam program ini, Kementerian Perdagangan akan melibatkan Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Standarisasi Nasional, Badan Pengawas Obat dan Makanan, serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Aditya Nugroho, kepala tim TSP II, mengatakan program tersebut akan menjadi proyek percontohan yang bertujuan untuk meningkatkan semua langkah dalam rantai pasok produksi pala. Menurutnya, perlu ada standar metode panduan bagi setiap pelaku dalam rantai pasokan pala.
“Kami sedang membuat panduan atau best practice untuk setiap pelaku rantai pasok dari hulu hingga hilir, sehingga tidak akan ada lagi penyortiran berkali-kali sebelum pengiriman biji pala ke pasar internasional,” ujarnya.
Selain itu, timnya pun tengah melakukan riset dalam pengeringan biji pala, baik dari segi temperatur, waktu proses dan lainnya, untuk menghasilkan model pengeringan yang efektif. Adapun, hasil riset itu diperkirakan akan selesai pada dua bulan kedepan.
Dia berharap dari proyek TSP II ini dapat memberikan kontribusi efektif dalam peningkatan mutu produksi pala yang berkelanjutan. Selain itu, lanjutnya, juga menjadi contoh bagi proyek lainnya dalam sektor makanan dan minuman.
Biji Pala Indonesia Dihadang Uji Mutu Internasional
BISNIS.COM, JAKARTA--Sherlly Dendeng sempat was-was dan khawatir akan nasib dua kontainer pala yang sudah merapat di pelabuhan laut Livorno, Italia baru-baru ini. Biji pala dari Pulau Siau tersebut tengah dalam tahap pemeriksaan toksin yang merupakan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Ringkang Gumiwang
Editor : Sutarno
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
5 jam yang lalu
Di Balik Aksi Lo Kheng Hong Borong Puluhan Juta Saham PGAS
9 jam yang lalu