BISNIS.COM, JAKARTA--Pemerintah dan DPR menyepakati biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik sebesar Rp1.198 per kilowatt hour (kWh) atau sebesar Rp224,79 triliun dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2013.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengatakan kenaikkan BPP tenaga listrik itu disebabkan oleh meningkatnya kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) yang terus meningkat. Sebelumnya, dalam APBN 2013 BPP tenaga listrik sebesar Rp1.163 per kWh atau Rp212,07 triliun.
Sebelumnya, DPR dan Pemerintah juga telah menyepakati asumsi kurs nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp9.600 dari yang sebelumnya Rp9.300. sedangkan ICP disepakati menjadi US$108 per barel dari yang sebelumnya US$100 per barel.
“Memang ICP dan nilai tukar ini sangat berpengaruh terhadap BPP tenaga listrik. Apalagi saat ini masih banyak kebutuhan listrik di dalam negeri yang dipenuhi oleh pembangkit listrik berbasiskan diesel,” katanya di Jakarta, Jumat (31/5).
Dalam kesempatan itu, DPR dan Pemerintah juga menyepakati peningkatan target penjualan listrik menjadi 187,70 terawatt hour (TWH) dari yang sebelumnya 182,28 TWH. Peningkatan target penjualan tersebut nantinya akan berdampak pada meningkatnya subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah.
Wacik mengungkapkan meningkatnya nilai tukar rupiah dan ICP merupakan hal yang di luar kewenangan Kementerian ESDM, sehingga tidak dapat menghindari peningkatan subsidi listrik. Sementara pertumbuhan penjualan lebih disebabkan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan masyarakat kelas menengah.
“Saat ini masyarakat kelas menengah kan meningkat pesat, mereka banyak membeli barang elektronik baru. Akibatnya, pertumbuhan penjualan listrik melonjak. Angka itu juga belum termasuk peningkatan elektrifikasi yang terus kita kejar,” jelasnya.
Alimin Abdullah, anggota Komisi VII DPR mengatakan PLN dan pemerintah seharusnya meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk pembangkit. Alasannya, penggunaan EBT akan menjadikan pembangkit listrik menjadi lebih efisien.
“Dengan pembangkit listrik berbasiskan EBT tidak akan dipengaruhi ICP. Artinya, itu tentu akan lebih efisien. Jangan malah dipersulit kalau ada pengembang listrik swasta yang ingin mengembangkan EBT untuk pembangkit listrik,” ungkapnya.
Sementara Ketua Komisi VII DPR Sutan Bathoegana mengatakan DPR masih belum menyetujui usulan margin usaha PLN sebesar 7% atau Rp15,74 triliun. DPR masih perlu mendengarkan alasan logis pemerintah menaikkan margin usaha PLN yang sebelumnya Rp14,84 triliun dalam APBN 2013.
“Kami mempertanyakan kenapa margin yang diusulkan itu 7%. Tetapi, Kementerian ESDM masih ingin membicarakan hal itu dengan Kementerian Keuangan, makanya kami belum menyetujui itu,” tuturnya.
Menurutnya, pemerintah harus memberikan parameter dan target yang jelas jika ingin memberikan margin usaha. Target tersebut nantinya harus dikejar oleh PLN sebagai badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha ketenagalistrikan.
Direktur Perencanaan dan Manajemen Risiko PLN Murtaqi Syamsuddin mengatakan margin usaha diperlukan PLN agar memiliki kapasitas mengakses pendanaan. Dengan begitu, perseroan dapat melaksanakan tugasnya untuk membangun pembangkit listrik dan menambah elektrifikasi.
“Untuk membangun pembangkit dalam skala besar tentu kami memerlukan pendanaan. Nah, margin usaha ini diperlukan untuk itu. Selama ini kan PLN selalu terkendala dengan sulitnya mendapat akses pendanaan,” jelasnya.
Seperti diketahui, saat ini PLN terus mengejar peningkatan rasio elektrifikasi sebesar 79,3% yang telah ditetapkan dalam APBN dengan membangun sejumlah pembangkit listrik.