BISNIS.COM, JAKARTA--Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali menegaskan tidak akan membuka pintu ekspor untuk bijih nikel mulai 2014 mendatang agar dapat menguasai pasar komoditas tersebut.
Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Thamrin Sihite mengatakan pihaknya tidak akan mengizinkan ekspor bijih nikel mulai 2014 mendatang. Alasannya, Indonesia dapat mengendalikan pasar nikel, karena 40% cadangan bijih nikel dunia ada di Tanah Air.
“Negara ini kan punya 40% dari cadangan bijih nikel dunia. Kalau kami hentikan ekspornya, maka investor akan masuk,” katanya di Kementerian ESDM hari ini, Kamis (22/5/2013).
Thamrin mengungkapkan Indonesia sebenarnya dapat mengendalikan pasar bijih nikel di dunia, karena permintaan komoditas it uterus tumbuh. Apalagi nikel juga saat ini menjadi bahan baku dari berbagai industri dasar yang ada di dalam negeri.
Pada 2012 lalu, ekspor bijih nikel yang dilakukan oleh perusahaan yang memegang izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 41 juta ton, lebih tinggi 28,12% dibandingkan dengan ekspor pada 2011 yang sebesar 32 juta ton.
Rekomendasi untuk mengeluarkan izin ekspor bagi perusahaan pertambangan yang telah melakukan uji kelayakan (feasibility study/FS), menurutnya hanya usulan yang dari pelaku usaha kepada Pemerintah. Akan tetapi, Pemerintah tetap terikat pada aturan yang mengharuskan pengolahan dan pemurnian komoditas mineral dilakukan di dalam negeri.
Thamrin menjelaskan rekomendasi tersebut memerlukan perubahan pada regulasi yang ada saat ini. “Rekomendasi itu tentu harus mengubah UU Minerba, tetapi apakah proses mengubah UU itu bisa selesai dalam waktu dekat? Kan tidak mungkin,” jelasnya.
Para pelaku usaha sebelumnya mengeluarkan rekomendasi kepada Pemerintah terkait hilirisasi mineral. Bagi pemegang IUP dan KK yang telah melakukan FS dan tahap perencanaan membangun smelter tetap diberikan rekomendasi ekspor bijih mineral dengan syarat volume yang diekspor tidak mengganggu kebutuhan pasokan smelter di dalam negeri.
Selain itu, perusahaan juga harus menempatkan jaminan kesungguhan dalam bentuk dan jumlah yang ditentukan, serta menyampaikan jadwal pembangunan smelter yang telah final, terukur dan dengan batas waktu yang disepakati.
Rekomendasi selanjutnya adalah pemerintah diharapkan tidak mengeluarkan rekomendasi ekspor bijih mineral kepada perusahaan yang belum melakukan FS dan tahap perancangan smelter. Terakhir, akan dibentuk tim pemantau untuk menindaklanjuti pelaksanaan rekomendasi tersebut.
Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA) Martiono Hadianto mengatakan juga kelayakan pembangunan smelter di dalam negeri ditentukan oleh biaya investasi, biaya operasional dan treatment and refining charges (TC/RC). Sementara ongkos TC/RC sendiri saat ini dikendalikan oleh pasar internasional.
Belum tersedianya infrastruktur pendukung untuk menjadi salah satu penyebab mahalnya investasi pembangunan smelter di dalam negeri. Karenanya, smelter perlu mendapatkan insentif untuk mengatasi biaya operasional tersebut.
Selain itu, ada risiko langsung perusahaan kehilangan pendapatan penjualan kotor sebesar US$4,3 miliar hingga US$8,1 miliar jika pemerintah tidak merevisi lampiran dalam Peraturan Menteri ESDM No. 7/2012.