JAKARTA: Memasuki 2012, ekonomi RI mulai merasakan sengatan krisis.
Dinamika ekonomi global yang memasuki tren negatif, mulai menimbulkan dampak terhadap perekonomian Asia, seperti China, India, dan Indonesia.
Harga komoditas di pasar internasional terkoreksi, permintaan ekspor mengalami kontraksi, dan harga minyak dunia melonjak tinggi.
Deviasi asumsi makro dan target penerimaan negara yang dipatok dalam APBN 2012 ada di depan mata. Target pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak, dan PNBP dinilai terlalu tinggi sedangkan asumsi ICP US$90/barel dipastikan terlalu rendah.
Tak ingin terlambat merespons kondisi tersebut, pada Februari Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo mengungkapkan rencana perombakan APBN 2012. Rencana tersebut memang terlalu dini.
Normalnya, perombakan APBN dilakukan pada awal semester II, seusai pemerintah mengevaluasi implementasi APBN sepanjang semester I.
Mungkin saat itu alarm fiskal sudah berbunyi kencang mengingatkan bahwa defisit APBN yang dipatok 1,56% terhadap PDB akan jauh melebar akibat tidak tercapainya target penerimaan pajak dan PNBP, membengkaknya subsidi BBM dan listrik, serta meningkatnya beban cicilan dan bunga utang seiring depresiasi kurs.
Akibatnya, tingkat pertumbuhan ekonomi diturunkan dari 6,7% menjadi 6,5%, ICP dikatrol dari US$90/barel menjadi US$105/barel, dan pemerintah minta fleksibilitas terkait dengan penyesuaian harga BBM bersubsidi yang dalam APBN 2012 dikunci rapat.
Pembahasan APBN-P berjalan cukup dramatis. Dari siang hingga tengah malam. Dari lobi Badan Anggaran sampai ke tingkat pimpinan Dewan. Satu topik kontroversial yang dibahas dengan sengit tak lain adalah rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi Rp1.500/liter pada 1 April 2012.
Hasilnya, meski argumentasi ekonomi sudah ditegaskan, ternyata tangan politik lebih kuat menyetir arah kebijakan fiskal negeri. Setelah melalui pembahasan di sidang Paripurna DPR diiringi tekanan sosial dari aksi demonstrasi, rencana pemerintah itu batal.
Pemerintah pun gigit jari. APBN-P 2012 yang posturnya dirancang dengan asumsi terjadi penaikan harga BBM subsidi menjadi Rp6.000/liter mengalami mismatch dengan kebutuhan belanja.
Ketidaksesuaian yang paling mencolok tentu saja pagu subsidi BBM. Dalam APBN-P 2012, pagunya ditetapkan Rp137,4 triliun dengan kuota BBM subsidi sebanyak 40 juta kiloliter.
Namun, berdasarkan estimasi terakhir, volume konsumsi bisa melonjak menjadi 45 juta kiloliter dan menyedot anggaran hingga lebih dari Rp219 triliun.
Artinya, ada gap Rp81,6 triliun dalam pagu subsidi BBM. Porsi subsidi BBM yang berisiko menembus Rp219 triliun mencapai 20% dari total belanja pemerintah pusat yang sebesar Rp1.061,5 triliun.
Jauh lebih besar dari pagu subsidi non-energi yang hanya mencapai 4% dari belanja. Sayangnya, 70% dari anggaran super jumbo itu salah sasaran, karena dinikmati masyarakat mampu dan hingga kini wacana pembatasan konsumsi hanya jadi retorika.
Menkeu Agus Martowardojo mengungkapkan dari sisi belanja, terjadi pembengkakan pada pagu subsidi energi, namun realisasi belanja kementerian/lembaga masih mengecewakan.
Birokrat negeri begitu bernafsu meminta anggaran yang terus meningkat setiap tahun, tetapi tidak mampu me realisasikan anggaran dengan berkualitas, tepat waktu, dan tepat guna.
Kinerja APBN yang belum optimal dalam mendorong perekonomian diakui Menko perekonomian Hatta Rajasa.
Menurutnya, apabila terserap optimal dan proporsional, pertumbuhan ekonomi akan terdongkak sebesar 0,2--0,3% dari kondisi saat ini.
Kendati daya dorong APBN masih loyo, toh ekonomi mampu tumbuh di atas 6%. Indonesia masih beruntung karena mesin konsumsi rumah tangga dan investasi melaju dengan cepat.
Mengutip laporan Badan Pusat Statistik, perekonomian Indonesia pada kuartal I/2012 tumbuh 6,3%, kuartal II/2012 6,4%, dan kuartal III/2012 melambat ke level 6,17%.
Artinya, untuk mencapai target pertumbuhan 6,5%, ekonomi kuartal IV/2012 harus melesat sebesar 7,13%. Sesuatu yang hampir mustahil apabila melihat kondisi ekonomi saat ini.
Ekonom Indef Ahmad Erani Yustika memproyeksikan ekonomi Indonesia pada 2012 hanya mampu berada pada tingkat pertumbuhan 6,3%. Ekspor yang lesu di saat impor tinggi dinilai sebagai batu sandungan melajunya PDB nasional tahun ini.
MENUAI PUJIAN
Kendati demikian, di tengah ketidakpastian global, kondisi ekonomi Indonesia yang tetap tumbuh di atas 6% dengan tingkat inflasi sekitar 4% menuai apresiasi. Pujian datang dari Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde saat berkunjung ke Indonesia.
“Indonesia memiliki pertumbuhan yang positif. Indonesia masuk dalam negara yang sukses. Karena tidak ada perekonomian yang kebal terhadap apa yang terjadi di tataran global,” katanya.
Bukan hanya itu, lembaga riset McKinsey bahkan memproyeksi Indonesia mampu merangsek menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-7 dunia pada 2030.
Pada September 2012, OECD juga mengungkapkan bahwa tingkat pertumbuhan yang kuat dan stabil merupakan modal bagi Indonesia untuk menyamakan skala ekonomi dengan negara-negara lain di Asia Pasifik. Bahkan RI dinilai berpeluang untuk menjadi satu dari 10 perekonomian terbesar pada 2025.
Tidak boleh terlena, RI harus berbenah. Mulai dari infrastruktur fisik, sumber daya manusia, kapasitas birokrasi, peran serta pemerintah, hingga teknologi dan inovasi harus terus ditingkatkan.
2012 Adalah tahun penuh ketidakpastian. APBN terdeviasi, subsidi BBM melambung tinggi. Ekonomi global mengalami kontraksi, tetapi realisasi investasi di dalam negeri justru tumbuh tinggi.
Tutup tahun dengan evaluasi dan introspeksi, semoga tahun depan bisa mencatat prestasi… (ra)