JAKARTA—Hampir seluruh manusia penghuni planet ini, jika mengenal Indonesia, pasti tahu: Negeri Surga. Tanah subur. Laut luas. Iklim: Mau panas? Hujan? Oke. Maka Koes Plus, sangkin takjubnya, pun menjadikan semua itu menjadi lagu. Laris pula.
Jadi, kalau kemudian Indonesia masih harus kesulitan dalam pengadaan bahan pangan, orang pasti bilang: Gila kali yah. Aneh memang. Sulit diterima akal sehat. Bahkan, jika membandingkan dengan Thailand, orang semakin menggelengkan kepala: Aneh tenan.
Padahal, yang dibayangkan banyak orang, Indonesia harusnya menjadi pemain terbesar dalam sektor pertanian. Tanaman pangan, oke. Hasil laut, bisa. Dari hutan, mampu. Apalagi subsector perkebunan: Indonesia dikenal sebagai raja CPO. Apalagi?
Kalau berita yang muncul Indonesia masih mengimpor 80% komponen otomotif, orang akan maklum. Yah…itu bukan core kita, begitu barangkali jawabannya. Ada kompromi atau kesadaran. Namun, jika beras, jagung, gula, ikan masih harus impor dari negeri yang lebih kecil seperti Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, wow..Apa kata dunia?
Tapi, di sini hebatnya orang Indonesia, kita tetap mempunyai jawaban. Impor bukan hal yang buruk dalam perdagangan dunia. Kemudian, iklim pun tidak selalu berpihak kepada kita. Ada lagi, lahan banyak, tapi yang cocok sedikit. Alasan terakhir ini diperkuat dengan fakta terbaru: Gagalnya program food estate di Papua. Termasuk sejumlah areal bekas hutan yang ditawarkan Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Pertanian.
Apapun alasan, kita sejatinya malu. Potensi yang ada tidak mampu dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat. Padahal UUD 1945 memerintahkan hal itu: Tanah dan Air dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Boleh jadi: Kita gagal memenuhi tugas UUD 45.
Padahal, di negeri ini, jumlah sarjana pertanian, tak terbilang banyaknya menyusul banyaknya perguruan tinggi yang memiliki fakultas pertanian, bahkan memiliki institute pertanian. Sepadankah hasil yang kita raih? Rasanya, selama masih mengimpor tanaman pangan yang mampu diproduksi di Tanah Air, yah maaf saja. Belum.
Program swasembada pangan: selalu terseok-seok. Swasembada daging: morat-marit. Swasembada gula: maju mundur. Australia dan Selandia Baru banyak menikmati kegagalan kita memenuhi pasok daging dalam negeri. Thailand, Vietnam, Myanmar pun menikmati besarnya penduduk dan konsumsi beras Indonesia.
Akhirnya, setiap tahun –terutama dalam kaitan penyusunan anggaran—selalu bicara potensi yang disusul besaran biaya yang dibutuhkan. Kasus seperti itu terus berulang. Sampai-sampai orang pun bertanya:Potensi lagi potensi lagi. Biaya lagi, biaya lagi.
Dan, jika soal swasembada pangan dikatakan tidak berhasil, jawaban yang muncul dari pejabat di Kementerian Pertanian, selalu klasik. Dulu, merujuk kisah sukses swasembada pangan Presiden Soeharto, semua pihak bergerak bersama-sama, bersinerji. Sekarang?
Membangun pertanian tidak semudah membalikkan telapak tangan. Begitu alasan yang kerap diutarakan. Namun, negeri ini sudah memiliki modal yang membuat kesulitan mampu diatasi. Setidaknya masih ada biaya untuk membangun. Masih ada petani yang hidupnya bergantung pada sawah. Masih ada konsumen. Masih ada hujan, matahari dan masih ada lahan yang terbentang luas. Bahkan kita pun memiliki BMKG, Badan Litbang Pertanian Kementan. Termasuk sarjana pertanian, pabrik pupuk, pabrik benih bahkan kementerian pertanian dan dewan ketahanam pangan yang langsung di bawah presiden.
Kendati itu juga tidak menjadikan jaminan 100% untuk memuluskan Indonesia menjadi negeri pertanian terbesar di dunia, modal itu sudah cukup. Persoalannya memang, sejauh mana kita berkemauan menjadikan pertanian di negeri ini menjadi lokomotif ekonomi Indonesia. Apalagi jika nilai tambah produk pertanian itu pun dilakukan di Tanah Air, yang membangun industri pertanian.
Rasanya, hampir setiap kandidat presiden di negeri ini, kerap menjadikan sektor pertanian modal kampanye mereka. Namun, dalam implementasi, kita masih mendua hati. Kita masih belum percaya diri menjadikan sektor pertanian sebagai paling prioritas dalam pembangunan.
Kita nampaknya tidak perlu malu untuk belajar dari Thailand dalam membangun pertanian. Thailand, ekspor beras, gula, hortikultura, jagung dan alamnya –termasuk pertanian dijual pula untuk pariwisata--mampu melakukan kendati lahan yang tidak banyak. Thailand lebih pintar dari kita. (msb)