JAKARTA--Asosiasi Nikel Indonesia (ANI) mengakui bisnis pertambangan di Indonesia sempat lesu dan tidak bergairah pasca diberlakukannya pengetatan ekspor bijih mineral (ore atau raw material).
Ketua Umum ANI Shelby Ihsan Saleh mengatakan pengetatan ekspor yang tertuang dalam Permen ESDM No.7 Tahun 2012 menjadi pukulan mematikan bagi sebagian besar pengusaha tambang nasional.
"Kebijakan yang intinya melarang ekspor sejumlah produk tambang tertentu secara mentah ini menjadi pukulan mematikan bagi sebagian besar industri pertambangan nasional," ujarnya di sela-sela acara 'Dialog Bisnis Pengaturan Ekspor Produk Pertambangan Pasca Keputusan Mahkamah Agung RI' hari ini, Senin (5/11).
Menurut Shelby, karena tidak boleh ekspor, perusahaan-perusahaan tambang terpaksa mengurangi produksi yang berakibat pada pengurangan jumlah tenaga kerja. Pasca Permen 7/2012, ANI mengklaim puluhan ribu pekerja akhirnya di-PHK dan puluhan perusahaan tambang akhirnya tutup.
"Permen 7/2012 telah membuat stagnasi dalam kegiatan ekspor produk tambang, menghambat jalannya usaha, serta menggagalkan investasi yang telah direncanakan," ujarnya.
Di sisi lain, infrastruktur di dalam negeri belum siap untuk mendukung kegiatan hilirisasi atau kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri. Selain itu, kondisi pasar di dalam negeri sendiri dianggap belum mampu menyerap produksi hasil tambang.
Shelby menambahkan investasi yang dibutuhkan untuk membangun fasilitas smelter itu tidak sedikit. Selain itu, waktu yang diperlukan untuk menyiapkan smelter di dalam negeri tidak sebentar, baik dari sisi konstruksi mau pun kerumitan birokrasi yang dihadapi di pusat dan di daerah.
"Sebelum mengeluarkan Permen 7/2012, pemerintah seharusnya membuat road map yang jelas tentang hilirisasi industri pertambangan dan menjamin tersedianya suplai energi yang memadai," tambah Shelby.
Pada 12 April 2012, ANI mengajukan hak uji materiil terhadap Permen ESDM No.7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral ke Mahkamah Agung (MA).
Permen tersebut dinilai menyalahi UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Dalam UU Otda, kewenangan pemberian izin pengelolaan sumber daya alam termasuk tambang, berada di tangan pemerintah kabupaten/kota, bukan di tangan pemerintah pusat.
Selain itu, Permen 7/2012 juga dinilai menyalahi UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara. Pasalnya, dalam UU Minerba disebutkan bahwa larangan ekspor bijih mineral mentah (ore atau raw material) mulai berlaku pada 2014, bukan tahun ini.
Pada 12 September 2012, putusan MA mengabulkan sebagian dari gugatan ANI. Dengan demikian, ANI beranggapan bahwa Permen ESDM No.11 Tahun 2012 yang merupakan revisi Permen 7/2012 secara otomatis batal demi hukum. Artinya, revisi Permen ini gugur dengan sendirinya. (msb)