JAKARTA: Apresiasi nilai tukar rupiah yang lebih tinggi dibandingkan dengan mata uang lain di kawasan turut menekan kinerja ekspor produk manufaktur Indonesia.Sjamsu Rahardja, Ekonom Senior Bank Dunia, mengatakan harga produk manufaktur umumnya mengikuti pasar internasional.
"Apresiasi rupiah yang lebih tinggi dibandingkan dengan mata uang lain di kawasan membuat produk manufaktur Indonesia menjadi lebih mahal," ujarnya dalam seminar Bank Dunia, Rabu (10/10/2012).Dibandingkan dengan Ringgit Malaysia, Yuan China, Bath Thailand, dan Peso Filipina apresiasi riil rupiah lebih tinggi. Hal ini berisiko menekan ekspor produk manufaktur."Apresiasi ini konsisten dengan fundamental ekonomi. Tetapi magnitude-nya berdampak pada operasional sektor manufaktur," ujarnya.Tantangan industri manufaktur di sisi makro juga mencakup meningkatnya harga jasa seiring peningkatan pendapatan per kapita dan melonjaknya arus investasi portofolio.Selain itu, lonjakan harga komoditas turut mempengaruhi kinerja sektor manufaktur. Utamanya menggeser produk tekstil, pakaian, dan alas kaki (TCF) sebagai produk unggulan, menjadi sumber daya alam.Berdasarkan laporan Bank Dunia, 47% ekspor manufaktur Indonesia berbasis komoditas dan sumber daya alam. Proporsi ini meningkat dibandingkan kondisi 19995 yang hanya sebesar 34%.Seiring peningkatan ekspor non-migas sumber daya alam, terjadi penurunan pertumbuhan ekspor manufaktur non-migas produk tekstil, pakaian dan alas kaki (TCF) dari 24% pada 1995 menjadi 11% pada 2008. (bas)