JAKARTA: Inflasi September tidak mencerminkan penurunan daya beli, namun pemerintah diimbau untuk memberikan stimulus apabila ingin mencapai pertumbuhan 6,5% pada 2012.Direktur Statistik Harga Badan Pusat Statistik Sasmito Hadi Wibowo mengatakan realisasi inflasi September sebesar 0,01% dan inflasi tahun kalender sebesar 3,49% tidak mengindikasikan penurunan daya beli masyarakat atau lesunya aktivitas perekonomian.Rendahnya inflasi, kata Sasmito, terjadi akibat penurunan harga pangan dan transportasi setelah memuncak pada musim puasa dan Lebaran Agustus lalu."Ini faktor musim saja. Setelah Lebaran harga kembali turun. Kalau harga stabil tapi pendapatan meningkat, konsumsi justru bisa makin tinggi," kata Sasmito di kantor BPS Senin (1/10/2012).Sasmito mengungkapkan melemahnya permintaan global membuat harga barang konsumsi impor yang masuk ke Indonesia cenderung turun. Di sisi lain, produk ekspor Indonesia yang tidak terserap pasar global cenderung dijual dengan harga lebih rendah di pasar domestik"Inflasi rendah bukan dari melemahnya konsumsi, tapi kita diuntungkan oleh melemahnya harga akibat resesi di Eropa," ujarnya.Menurutnya, inflasi yang relatif rendah menciptakan kondisi kondusif bagi konsumsi masyarakat sehingga diharapkan dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi yang tahun ini ditargetkan mencapai 6,5%."Pertumbuhan ekonomi kita kan terbesar dari konsumsi rumah tangga, artinya dari demand. Tergantung bagaimana kita mengonsumsi, sepanjang kita masih PD [percaya diri] untuk mengonsumsi, saya kira PDB tidak terlalu terganggu, kecuali dari perdagangan internasional," tuturnya.
Stimulus Pemerintah
Inflasi tahun berjalan sepanjang Januari-September 2012 tercatat sebesar 3,49%. Realisasi ini masih jauh dari target inflasi yang ditetapkan pemerintah, yakni 5,3%.Berdasarkan data BPS, inflasi September 2012 sebesar 0,01% merupakan inflasi September terendah sejak 2000. Rendahnya inflasi bulan lalu kembali menurunkan inflasi tahunan (year on year) dari 4,58% pada Agustus menjadi 4,31% pada September.Juniman, Kepala Ekonom BII, menilai kondisi inflasi yang rendah membuat konsumsi masyarakat tidak tergerus oleh kenaikan harga. Namun, untuk dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi 6,5%, pemerintah diimbau untuk memberikan stimulus terhadap investasi dan konsumsi."Harus ada kebijakan untuk men-drive perekonomian domestik saat eksternal melambat. Dari sisi investasi misalnya dengan memperluas tax holiday," ujarnya.Inflasi yang rendah, kata Juniman, membuat Bank Indonesia lebih relax dalam kebijakan moneternya. Misalnya, tekanan untuk menaikkan Fasbi rate menjadi berkurang, dan berpotensi meningkatkan aktivitas ekonomi.Di sisi lain, kebijakan BI untuk meningkatkan loan to value (LTV) dinilai Juniman sebagai kebijakan yang kontraproduktif karena berisiko menurunkan konsumsi."Konsumsi kita ini kan baru berkembang, perlu stimulus untuk meningkatkan potensinya. Kalau dikatakan bubble masih jauh," tuturnya. (sut)