Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

SRI HARTINI: Perajin Kreatif Dari Surabaya Yang Low Profile

”Mungkin saat ini saya adalah pelaku usaha kecil menengah paling tua.”
 
Itulah kalimat yang dilontarkan Sri Hartini, seorang pelaku usaha kecil menengah (UKM) kreatif yang piawai dalam hal kerajinan bordir, batik tulis, tas kulit kombinasi batik sampai pada kebutuhan dekorasi rumah atau embroideries.
 
Awal mulanya, Nini hanya mengerjakan pembuatan kain untuk berbagai keperluan rumah tangga yang seluruhnya berbasis bordir. Taplak meja, taplak gelas sampai pada kotak tisu semuanya dibordir menjadi indah.
 
Selain itu Sri Hartini juga piawai menghasilkan berbagai kerajinan tangan. Keahlian itu diraihnya sebelum menikah sekitar 30 tahun lalu. Karena membordir dan menghasilkan karya kerajinan tangan adalah hobinya, maka eksistensi itu dipertahankan sampai saat ini.
 
Kadangkala ada juga yang memanggil saya Ibu Margriet, sesuai dengan brand produk yang saya hasilkan  di bawah CV Margriet,” ungkap Nini yang terus mempertahankan domisilinya di Kota Pahawan Surabaya, Jawa Timur.
 
Karena itu sekitar empat tahun lalu Nini mendapat penghargaan dari Unesco, organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan di bawah PBB berkat partisipasinya mengembangkan seluruh kerajinan seni yang ditransfer kepada masyarakat.
 
Mulai beberapa tahun belakangan, Nini bahkan mulai berinovasi menghasilkan produk kerajinan lain yang justru mendapat pasar secara nasional. Yakni, tas kulit yang dikombinasikan dengan batik.
 
Untuk finishing produk tersebut, dia kembali membubuhkan bordir untuk menunjukkan identitasnya sebagai seorang ahli bordir. Mengapa dia tidak menghilangkan batik sebagai salah satu warisan budaya Indonesia?
 
”Karena masyarakat Indonesia umumnya menyukai batik, sehingga saya berusaha mempertahankan ciri khas batik pada tas wanita. Kombinasi kulit dan batik pada produk tas ternyata memang sangat menarik,” tuturnya.
 
Namun, batik yang dipilihnya sebagai bahan kombinasi kulit tidak sembarangan. Batik tulis pun dipilih yang sangat halus sehingga membuat penampilan tas elegan. Tidak hanya itu, batik lawas atau batik-batik kuno atau lama melegkapi kreativitas Nini.
 
Dari inovasi dan kreatvitas yang dilahirkannya, secara otomatis membantah asumsinya bahwa Sri Hartini bukan pelaku UKM paling tua di Indonesia. Sebab,  dorongan seni yang tinggi pada dirinya, terus berupaya melahirkan ide dan kreativitas bagi generasi muda. Dan pastinya hasil karyanya diterima pasar.
 
Batik lawas yang dimanfaatkannya menjadi kombinasi tas berasal dari Madura, Sidoarjo,  dan Surabaya. Meski industri batik berkembang secara pesat, akan tetapi kehalusan batik lawas belum tersaingi oleh industri batik saat ini.
 
Mungkin, kata Nini, dia bisa salah karena menganggap tidak ada lagi perajin batik yang mampu menghasilkan batik tulis halus seperti era terdahulu.  “Mungkin saja ada, dan saya belum menemukannya. Akan tetapi, ada atau tidak pembatik berkualitas, pola kerjanya pasti sudah berbeda.”
 
Sempat memasarkan produk border maupun tas inovasinya ke Jepang, akan tetapi tidak mampu bertahan lama. Persoalan yang dihadapinya, karena kebutuhan modal yang sangat besar. Selain itu tingkat stresnya terlalu tinggi untuk mengerjakan pasar ekspor. Tuntutan kualitasnya sangat tinggi, sehingga dia memutuskan melayani pasar nasional saja.
 
Nini bahkan berusaha mempertahankan jumlah SDM secara turun temurun maksimal 15 orang saja. Namun, mampu melayani permintaan pasar dalam kapasitas besar yang umumnya berasal dari Jakarta dan kota sekitarnya.
 
Jika ada permintaan dalam skala besar, dia hanya perlu berkoordinasi dengan mantan-mantan perajin didikannya yang telah membuka usaha secara mandiri. Mantan anak didiknya bahkan mengikuti jejaknya mengembangkan usaha memproduksi tas kulit kombinasi batik.
 
Bagi Nini, materi bukan menjadi segalanya ketika menjalan usahanya. Sebab, sejak awal membuka usaha, merupakan ekspresi jiwa seni yang ada dalam tubuhnya. “Ketika melihat sesorang mengenakan tas atau memakai produk embroideries, itu adalah puncak kepuasan saya.”
 
Dengan alasan itu Nini menegaskan materi bukan menjadi tujuan utamanya untuk tetap eksis dalam industri kerajinan tangan dan asesoris rumah berbasis bordir. Harga jual produknya juga bervariasi, namun dia menjamin tidak akan menyentuh angka fantatis seperti tas produk impor.
 
Adapun kulit yang dijadikan kombinasi tas, seluruhnya berasal dari potensi lokal, yakni kambing dan domba. Bahan baku tersebut justru mudah ditemukan di Jawa Timur, semudah menemukan pembatik andal serta piawai dalam kinerjanya.
 
“Di luar hasil karya kami, biaya pekerjaan order untuk menghasilkan tas kulit demean kombinasi batik, ditentukan tingkat kerumitan pembuatan maupun desainnya. Hasil karya seperti itu biasanya berdasarkan permintaan pengelola rumah produk garmen.”
 
Sehalus apapun batik tulis itu, harganya tidak akan mencapai Rp1 juta setelah dirangkai menjadi produk tas wanita. Kesulitannya justru mendapatkan batik tulis berkualitas maupun batik lawas yang kini menjadi tren, karena sudah mencapai puluhan tahun, namun tetap awet dan warnanya menarik.
 
Bagi konsumen yang awam terhadap batik, pasti menyukai produk tas kulit batik Nini, meski batik yang dikombinasikan dengan kualitas standar. Akan tetapi, katanya, ketika berhadapan dengan konsumen yang sangat paham terhadap perkembangan dan sejarah batik, maka memahami bedanya.
 
Brand tas yang dipasarkan Nini tetap menggunakan unsur jati dirinya atau berasal dari namanya, yakni Hart. Nama salah satu putrinya, Binars, seorang desainer yang turut membantu bisnis bordir dan tas kulit batik, turut diabadikan melalui produk CV Margriet, yakni Binars atau bersinar.
 
Batik lawas menjadi tren kombinasi perlengkapan kaum wanita, umumnya yang sudah lama disimpan berupa produk garmen seperti baju serta lembaran. Untuk dipakai kembali, kekuatannya jauh berkurang apabila dijadikan baju maupun sekedar dipakai.
 
Desain batik lawas dan batik tulis yang paling disukai konsumen adalah batik tiga negeri dan batik kopi tutung. Batik tersebut eksis sejak jaman Belanda sehingga ada yang usianya hampir mencapai 100 tahun.
 
Bagi seorang kreatif seperti Sri Hartini, batik yang selama ini hanya dijadikan benda simpanan bersejarah di lemari, lalu dijadikan sebagai hasil kerajinan untuk melengkapi penampilan kaum wanita, dan menjadi populer. Setiap bulan dalam kinerja biasa, Nini bersama perajinnya menghasilkan sekitar 40 tas per bulan.
 
Sri Hartini merupakan penerima penghargaan dari salah satu event organizer berkat eksistensinya menjadi peserta pameran sebanyak 13 kali berturut-turut. Lalu dia menerima imbalan yang layak dari konsistensinya menjadi peserta pameran nasional. ([email protected])
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Muhammad Sarwani
Editor : Dara Aziliya

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper