JAKARTA--Pemerintah mendorong daerah merevisi peraturan daerah yang mengatur tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) di atas 5%.Yuswandi Tumenggung, Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, mengatakan pemerintah mengimbau daerah untuk bertindak secara bijak terkait tarif PBBKB yang diterapkan. Pasalnya, Peraturan Presiden No.36/2011 tentang perubahan atas tarif PBBKB habis masa berlakunya pada 15 September 2012.Menurutnya, pemerintah tidak mungkin kembali mengeluarkan Perpres serupa. Pasalnya, UU No.28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah mengatur bahwa pemerintah hanya boleh satu kali mengeluarkan Perpres tentang perubahan atas tarif PBBKB flat di level 5%."UU No.28/2009 mengatakan Perpresnya hanya 1 kali. Saya kira Perda saja yang direvisi cukup itu," ujarnya pekan lalu.Yuswandi berharap pemerintah daerah tidak menerapkan tarif PBBKB di atas 5%, setidaknya sepanjang tahun anggaran 2012. Pasalnya, kondisi di lapangan belum memungkinkan terjadinya perbedaan harga jual BBM bersubsidi antardaerah, atau bahkan antar SPBU di daerah perbatasan"Walaupun kondisi kita mengatakan ada Perda yang [tarif PBBKB] sebagian 10%, ada yang 7,5%, tapi di lapangan saya kira masih dalam posisi yang mengikuti Perpres. Karena pajak ini masuk kas daerah dalam APBD satu tahun. Jadi dari segi target pun, daerah masih menggunakan tarif yang lama," katanya.Soetirto, Sekretaris Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri, mengungkapkan saat ini terdapat 19 Pemda yang tarif PBBKB-nya ditetapkan di atas 5%.Dari jumlah tersebut, sebanyak 13 Pemprov memiliki Perda yang mengatur tarif PBBKB sebesar 7,5%.Pemprov tersebut yakni Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara. Adapun Pemprov yang memiliki Perda PBBKB 10%, yakni Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur."Beberapa Pemda ada yang sudah mengantisipasi dengan merevisi Perdanya. Tapi Perda ini kan produk hukum, ada proses yang harus dilewati. Saat ini masih kita monitor," ujar Soetirto.Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan dorongan pusat agar daerah merevisi Perda PBBKB mecerminkan kelalaian Pusat saat Perda tersebut disusun. Pasalnya, berdasarkan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk mengevaluasi draft rancangan (ranperda) provinsi."Mengapa waktu masih rancangan justru lolos? Sekarang setelah jadi Perda malah baru diminta revisi? Berarti Kemenkeu dan Kemendagri lalai mengevaluasi saat itu," ujarnya ketika dihubungi Bisnis, Minggu (23/09).Menurut Robert, UU No.28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah sesungguhnya memberi kewenangan bagi pemerintah pusat untuk merevisi ketentuan pengenaan tarif PBBKB yang dinilai membebani masyarakat.Namun, KPPOD mengimbau agar pemerintah pusat duduk bersama Gubernur yang memiliki Perda PBBKB di atas 5% untuk meminta kesepahaman agar mengenakan tarif yang tidak melampaui standar umum."Kalau memang pusat merasa bahwa Pemda tak memahami juga, presiden perlu tegas keluarkan Perpres untuk pembatalan atau revisi Perda," tuturnya.Dalam jangka panjang, tambah Robert, perlu dipikirkan perubahan UU No.28/2009, terutama terkait penetapan tarif PBBKB yang sesungguhnya bagian dari kebijakan fiskal nasional."Mengingat stratgisnya BBM ini, perlu dipikirkan apakah di buka ke daerah atau fix tarif perlu ditetapkan pusat untuk berlaku standar dan sama di semua daerah," pungkasnya. (faa)
Daerah didorong revisi pajak bahan bakar kendaraan bermotor di atas 5%
JAKARTA--Pemerintah mendorong daerah merevisi peraturan daerah yang mengatur tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) di atas 5%.Yuswandi Tumenggung, Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, mengatakan pemerintah mengimbau
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Diena Lestari
Editor : Dara Aziliya
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
28 menit yang lalu