Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

 

 

 

JAKARTA: Kementerian Kehutanan dan Satgas Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) hari ini mengumumkan penambahan luas wilayah Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) revisi II seluas 379.000 hektar pada kawasan hutan primer dan lahan gambut.

 

Penambahan luas wilayah moratorium hutan per Mei tahun ini diperoleh dari perhitungan ulang yang dilakukan tim verifikasi moratorium setelah memeroleh pengaduan dari sejumlah unsur masyarakat. Pada PIPIB revisi II, kawasan moratorium hutan kini seluas 65,7 juta hektar, terdiri dari 6,25 juta ha lahan gambut dan 8,27 juta ha hutan primer.

 

Ketua Satgas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto mengungkapkan perubahan wilayah moratorium yang terjadi pada setiap revisi enam bulan sekali itu mencerminkan sifat keindikatifan dan kedinamisan teknis pemetaan di lapangan.

 

Menurut Kuntoro, PIPIB revisi II telah mengoreksi luas moratorium hutan sebelumnya yang masih mencaplok perumahan warga dan infrastruktur publik seluas 482.000 ha. Selain itu, lahan konsesi yang belum memiliki izin pelepasan hutan dimasukkan kembali ke dalam wilayah moratorium.

 

“Misalnya, pencabutan izin terhadap sejumlah pemegang konsesi seperti PT Kalista Alam seluas 1.605 ha di Rawa Tripa Aceh,” ungkapnya pada jumpa pers hari ini, Senin, 21 Mei 2012.

 

Pemerintah, seru Kuntoro, akan terus membenahi sistem registrasi perizinan di lahan hutan primer dan gambut. Proses tata kelola hutan perlu dilakukan secara transparan, inklusif, dan akuntabel sehingga dapat segera mewujudkan satu peta moratorium yang terintegrasi.

 

Kuntoro mencatat hingga kini sejumlah Kementerian dan instansi pemerintah mengantongi peta dan berbagai jenis izin pemanfaatan lahan gambut secara terpisah sehingga bertumbukan satu sama lain. Hal ini mengakibatkan tata kelola hutan karut-marut dan berpotensi meningkatkan konflik pertanahan.

 

“Banyak persoalan yang muncul akibat keberagaman jenis pemetaan di setiap sektor seperti perbedaan definisi dan metodologi yang akhirnya membuat peta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi berbeda,” cetusnya.

 

Ketua Pokja Monitoring Moratorium Nirarta Samadi mengungkapkan pemerintah perlu menunda pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) lahan gambut dan hak guna air sebelum memeroleh keseragaman definisi lahan gambut dan pengarusutamaan pengurangan emisi hutan.

 

Menurut Nirarta, sejumlah Kementerian termasuk Kehutanan, Lingkungan Hidup, Pekerjaan Umum, dan Pertanian harus segera duduk bersama untuk memeroleh perspektif yang serupa tentang lahan gambut. Dia menargetkan keseragaman defines dapat dituntaskan bulan depan.

 

“Definis lahan gambut sangat rawan diperdebatkan, inilah yang menjadi pangkal masalah dari ruwetnya pemanfaatan lahan gambut di Indonesia,” ujarnya.

 

Nirarta menambahkan belum seragamnya pengertian lahan gambut mengakibatkan tata kelola hutan lamban, termasuk penataan tata batas yang tak kunjung terselesaikan. Pasalnya, luas konsesi izin pengusahaan hutan kerap tumpang tindih dengan hutan primer dan lahan gambut.(msb)

 

BERITA MARKET PILIHAN REDAKSI:

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Gajah Kusumo
Sumber : Surya Mahendra Saputra

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper