Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Darmin: Siapkan sekoci krisis global dari sekarang

JAKARTA: Indonesia diminta untuk menyiapkan “sekoci” untuk dapat menyelamatkan perekonomian nasional dari gelombang krisis ekonomi global.  Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution memaparkan BI telah mengambil beberapa langkah strategis

JAKARTA: Indonesia diminta untuk menyiapkan “sekoci” untuk dapat menyelamatkan perekonomian nasional dari gelombang krisis ekonomi global.  Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution memaparkan BI telah mengambil beberapa langkah strategis untuk membendung risiko gejolak pasar keuangan global dan mengantisipasi rambatan pelemahan ekonomi di negara maju. Terutama terkait monitoring pasar keuangan dan ketahanan perbankan terhadap gejolak di pasar keuangan.“Monitoring yang ketat terhadap kondisi likuiditas di pasar sangat penting, karena krisis bisa menekan nilai tukar dan memperketat likuiditas di pasar, suku bunga juga bisa melonjak,” ujar Darmin dalam acara Proyeksi Ekonomi Indonesi 2012: Badai Krisis Ekonomi dan Jebakan Liberalisasi, hari ini.Selain itu, BI juga menyiapkan protokol manajemen krisis, mekanisme ‘operation twist’ di pasar valas dan SBN, serta menurunkan suku bunga acuan BI ke level 6% awal Oktober lalu. Melalui mekanisme operation twist, BI memasok valas dan menyerap rupiah untuk digunakan membeli surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder guna menstabilkan kurs dan harga SBN.Ketidakpastian ekonomi global dan krisis di kawasan Eropa dan Amerika Serikat diperkirakan dapat merembet ke sektor finansial, pelemahan permintaan ekspor, dan volatilitas nilai tukar.Di sektor finansial, gejolak krisis Eropa dapat berdampak pada pasar uang valas dan Rupiah. Selama November 2011, terjadi penarikan modal asing dari surat utang negara (SUN) sebesar Rp0,21 triliun, saham Rp2,23 triliun, dan surat berharga Indonesia (SBI) jatuh tempo senilai Rp6,2 triliun. Akibat penarikan modal portofolio tersebut, terjadi capital outflow senilai US$1,6 miliar.“Karena itu, cadangan devisa turun ke level US$112 miliar, tapi masih sangat memadai, karena dampak terhadap pasar uang kita itu berada di tengah, tidak terlalu ekstrim dan tidak terlalu kuat juga,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah.Di sisi nilai tukar, Bank Indonesia mencatat selama November 2011, Rupiah terdepresiasi 2,12%. Realtif kecil dibandingkan mata uang lain di regional, seperti dolar Singapura -4,13%, Won Korea -2,92%, dan ringgit Malaysia yang terdepresiasi 3,24%.Menurut Halim, secara umum pasar valas, pasar SBN, dan suku bunga perbankan dalam kondisi yang baik untuk melakukan ekspansi likuiditas. BI juga melakukan intervensi untuk memastikan keseimbangan supply-demand valas dan melakukan buyback SBN untuk stabilisasi pasar obligasi.Dampak krisis Eropa terhadap perusahaan domestik, lanjut Halim, terbilang rendah. Pasalnya transaksi finansial berupa utang luar negeri swasta dari negara-negara Eropa relatif rendah. Porsi terbesar berasal dari Belanda yang mencapai 62,7%, sedangkan Jerman, Perancis, dan Italy hanya 6,7%, 2,1%, dan 0,1%.Halim meyakini kawasan Asia akan berpotensi menjadi kreditur dunia, seiring dengan besarnya porsi cadangan devisa dunia di negara-negara kawasan Asia. “Sekitar 70-80% cadangan devisa dunia itu ada di Asia, ke depannya Asia akan menjadi kreditur dunia,” ujar Halim.Sektor perdagangan diperkirakan tidak akan banyak terpengaruh krisis Eropa dan AS, karena porsi perdagangan Indonesia di dua kawasan itu hanya 10,4% dan 8,2%. Pasar ekspor Indonesia yang terbesar tidak lain adalah Asia, yakni 62% dari total ekspor.Menurut Luky Alfirman, Kepala bidang Kebijakan Belanja Pusat, Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PK APBN) Kementerian Keuangan, meskipun porsi ekspor Indonesia ke Eropa dan AS relatif kecil, namun tetap harus diwaspadai karena dapat berdampak pada penurunan ekspor nonmigas.“Pasar ekspor Indonesia, sekitar 50% ditujukan ke negara-negara Asia, terutama China, India, Singapura, dan Korea Selatan. Kalau negara-negara itu terkena dampak, ekspor kita akan melemah,” katanya.Pemerintah, lanjut Luky, menyiapkan kebijakan untuk memperluas pasar tujuan ekspor, meningkatkan iklim investasi dengan penyederhanaan perijinan, dan  memperbaiki belanja modal pemerintah untuk infrastruktur agar dapat menarik capital inflow menjadi investasi di sektor riil.Selain dua sektor tersebut, ekonom Indef Ahmad Erani Yustika juga menyoroti risiko krisis pangan dan krisis energi sebagai tantangan yang harus dihadapi Indonesia pada 2012. Menurutnya, krisis pangan dapat terjadi melihat cuaca ekstrim dan bencana alam di negara-negara penghasil pangan dunia, seperti Thailand, China, dan Amerika Selatan.Saat krisis pangan, negara-negara cenderung mengamankan stok beras nasionalnya. Hal ini menyebabkan turunnya supply ekspor pangan dan sulitnya menarik impor. Di sektor energi, Erani memproyeksikan akan terjadi perebutan sumber-sumber energi. Untuk itu, pemerintah harys mendiversifikasi energi menuju energi terbarukan. (bsi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor
Sumber : Ana Noviani

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper