Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

 

JAKARTA: Sejumlah pemerintah daerah penghasil minyak dan gas bumi mendesak adanya transparansi perhitungan dana bagi hasil (DBH) migas, sehingga mencerminkan azas keadilan bagi daerah penghasil.
 
Gubernur Riau Rusli Zainal mengungkapkan selama ini daerah penghasil migas tidak diberikan kewenangan dan kesempatan mengakses data produksi, lifting, dan cost recovery migas dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
 
Selain itu, imbuhnya, mekanisme perhitungan DBH migas belum transparan karena formulasi komponen pengurang perhitungan DBH seperti DMO (domestic market obligation), over/under lifting, pungutan lainnya seperti pajak migas belum memiliki nomra dan standar baku sehingga besaarannya selalu berubah dari waktu ke waktu.
 
Bahkan, waktu penyaluran DBH ke daerah tidak teratur (terlambat 4-9 bulan), sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan program kegiatan di daerah. 
 
"Seharusnya perhitungan produksi/lifting migas harus transparan dan daerah penghasil harus diberikan kewenangan dan kesempatan mengakses data produksi/lifting itu," ujarnya dalam seminar Daerah Penghasil Migas: Berkah atau Bencana? hari ini.
 
Senada dengan itu, paparan Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola mengatakan kendati pemda memiliki kewenangan otonomi daerah cukup besar melalui UU No. 32/2004, kenyataannya tidak mampu berbuat banyak dalam hal DBH karena masih dominannya peranan pusat dalam penguasaan dan pengelolaan migas.
 
Menurutnya, diperlukan revisi UU Migas No. 22/2001, khususnya menyangkut proporsi pembagian DBH untuk pusat 60% dan daerah penghasil 40%, pembinaan dan pengawasan sudah seharusnya melibatkan pemda, dan transparansi komponen faktor pengurang DBH.
 
"Sebagai contoh, PT Medco yang bereksplorasi di Lapangan Tiaka, tidak memberikan kontribusi yang signifikan kepada daerah karena pemda tidak pernah mengetahui jumlah lifting migas yang pasti setiap bulannya," katanya.
 
Selain itu, produksi minyak mentah yang diproses di Plaju atau Singapura tidak transparan. "Informasi yang kami dapatkan selalu dikatakan hasilnya minim diakibatkan karena biaya produksi tinggi, tetapi perusahaan itu tetap beroperasi." (sut)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper