Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produktivitas hutan industri capai 362,5 juta m3

JAKARTA: Potensi hutan tanaman industri (HTI) bisa mencapai 14,5 juta hektare dalam waktu kurang dari 10 tahun dibandingkan saat ini 9 juta ha, sehingga dapat memproduksi kayu 362,5 juta m3 serta perolehan devisa US$70 miliar.Wakil Ketua Umum Bidang

JAKARTA: Potensi hutan tanaman industri (HTI) bisa mencapai 14,5 juta hektare dalam waktu kurang dari 10 tahun dibandingkan saat ini 9 juta ha, sehingga dapat memproduksi kayu 362,5 juta m3 serta perolehan devisa US$70 miliar.Wakil Ketua Umum Bidang Ekonomi dan Pemasaran Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) David mengatakan ekspor produk kayu potensial, karena Indonesia memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan negara produsen kayu di luar negeri. Salah satu kelebihan itu, lanjutnya, pertumbuhan pohon di Tanah Air 4-5 kali lipat lebih cepat dibandingkan dengan pohon di luar negeri.“Potensi HTI bisa mencapai 14,5 juta ha dengan potensi devisa yang diperoleh US$70 miliar dalam 10 tahun ke depan,” ujarnya saat Musyawarah Nasional APHI, hari ini.Dia menjelaskan produktivitas kayu di hutan industri mencapai 25 m3 per yang dipergunakan untuk pulp 40 juta m3 dan plywood 30 juta m3.Target itu dapat tercapai, katanya, jika ada kemauan (political will) pemerintah, karena Indonesia dapat bersaing di luar negeri."Kuncinya political will pemerintah. Bagaimana mempermudah proses perizinan hutan tanaman industri. Pemerintah masih setengah hati."Penambahan areal hutan industri, menurutnya, dengan memanfaatkan lahan terlantar, karena ada puluhan juta ha lahan hutan tidak produktif bekas pembalakan liar dan areal HPH terlantar.Dia memaparkan izin HTI saat ini 9 juta ha. Namun, HTI yang sudah ditanami hanya 4,3 juta ha atau 47,8%, sehingga masih banyak areal HTI yang belum ditanami.Menurutnya, untuk memanfaatkan areal HTI, maka pihaknya akan memanggil perusahaan pemegang izin yang sudah 3 tahun tidak memulai kegiatan untuk mengidentifikasi persoalan yang dihadapi. Devisa ekspor kehutanan mencapai US$7 miliar tahun lalu.Dia menuturkan dari 9 juta ha hutan tanaman industri hanya 70% atau 6,3 juta ha yang dapat ditanami, sedangkan sisanya tidak dapat ditanami, karena untuk infrastruktur seperti jalan dan sebagainya. Menurutnya, ada 152 perusahaan kehutanan, tetapi 60 perusahaan diantaranya tidak aktif.Sementara itu, persoalan konflik pengusaha hutan dengan masyarakat sekitar, katanya, perlu dibuka komunikasi kedua belah pihak tersebut untuk menyelesaikan konflik tersebut serta perlu mengkomunikasikan peran HTI untuk masyarakat.David memaparkan perlu dibuka dialog untuk melihat manfaat keberadaan hutan industri. Masayarakat dapat melakukan tanam tumpang sari dan tidak perlu membuka hutan lagi, karena sulit untuk membuka hutan baru, sehingga dapat menghindari pembukaan hutan dengan pembakaran. “Tumpang sari itu bisa untuk tanaman padi, cabai, jagung dan tanaman pangan lainnya."Tidak aktifWakil Ketua Umum Bidang Produksi Hutan Alam Nana Suparna mengatakan banyak perusahaan pemegang izin HTI yang tidak aktif, karena konflik tumpang tindih yang disebabkan hak adat, hak ulayat, dan konflik kawasan dengan masyarakat sekitar yang mengklaim memiliki lahan tersebut.Persoalan lain, lanjutnya, konflik tumpang tindih areal hutan industri dengan lahan perkebunan dan tambang.Kebijakan Kementerian Kehutanan agar pengusaha tidak menebang habis tanaman HTI terutama di hutan alam, katanya, telah menghambat pengusaha kehutanan.Padahal, sebagian besar kawasan HTI, menurutnya, masih memiliki hutan alam. Sementara itu, pada saat perusahaan mengajukan izin HTI masih mengacu pada regulasi sebelumnya yang tidak mencantumkan ketentuan pelarangan tebang habis.Ada klausul pengusaha hutan industri untuk menyisakan 10%-20% untuk hutan konservasi, sehingga sama sekali tidak boleh ditebang habis. "Ini ada persoalan dalam kebijakan kehutanan."Nana berpendapat jika HTI hanya boleh tebang pilih, maka lebih cocok untuk izin Hak Penggunaan Hutan (HPH). Menurutnya, Kementerian Kehutanan membuat kebijakan semua (setengah-setengah) dan ragu-ragu dalam mendorong perkembangan hutan industri.Dia menambahkan ada beberapa hutan tanaman industri yang tidak beroperasi disebabkan persoalan lainnya terutama permodalan.Menurutnya, luas HTI yang ditanami pohon lebih kecil dari izin HTI yang diberikan pemerintah, karena ada kewajiban hutan untuk konservasi, pembangunan sarana dan prasarana, serta tanaman masyarakat.Sementara itu, pasar kayu dan produk kayu di luar negeri masih mengalami tekanan dengan adanya hambatan non tarif seperti sertifikasi pengelolaan hutan lestari.Standar hutanPasar dunia, katanya, mengacu pada standar Forest Stewardship Council (FSC). Namun, persyaratan untuk mendapatkan sertifikat untuk hutan alam masih bisa diterima, kendati masih ada hal yang tidak sesuai dengan kondisi HTI di dalam negeri.Standar hutan tanaman tidak boleh ditebang habis, sehingga HTI tidak mungkin mendapatkan sertifikat FSC, kecuali PT Perhutani."Karena standard FSC dalam HTI bisa lulus kalau dia [pengusaha HTI] tidak menebang habis hutan alam. Menurut saya itu diskriminatif."Padahal, sebagian besar hutan di dunia merupakan HTI, sedangkan di indonesia baru mencapai 4-5 juta ha dari total hutan alam 70-80 juta ha.Padahal, peluang ekspor pulp and paper sangat besar menyusul krisis di Eropa dan Amerika Serikat. Menurutnya, 50% perusahaan pulp di AS sudah tutup. Kelebihan lainnya, lanjutnya, pertumbuhan pohon di Tanah Air 4-5 kali lipat lebih cepat dibandingkan dengan pohon di luar negeri.Peluang itu, kata Nana, akan mendorong perolehan devisa dari kayu dan produk kayu. Namun, banyak hambatan baik dari luar negeri maupun kebijakan di dalam negeri. "Karena pembeli di luar negeri tidak dapat membeli. Kita tidak bisa memenuhi standard FSC. Ini tdk adil."Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengatakan tantangan global krisis ekonomi AS dan Eropa, sehingga negara di Asia diharapkan tidak terpengaruh.Namun, pembangunan berwawasan lingkungan dan kompetitif menjadi bagian penting dalam mengatasi tantangan tersebut.Dia mengakui tingkat kompetisi lokal masih terhambat birokrasi. Oleh karena itu, perlu ada pedoman keberlanjutan untuk dapat memasuki pasar terutama permintaan komiditas kayu yang akan bersaing ketat dengan China."Sustainibility penting, tetapi bukan berarti menanam tidak penting. Dari menanam menjawab tiga pertanyaan, mengurangi erosi dan banjir,menyerap CO2, memasok permintaan dalam memenuhi kebutuhan kita."Sumbangan sektor kehutanan terhadap PDB masih kecil hanya 6,4%, tetapi jika hambatan dapat diatasi, maka dapat meningkat.Butuh kepastianKetua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Sugiono mengatakan pengusaha kehutanan membutuhkan kepastian usaha yaitu sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah.Selama ini, katanya, kebijakan pusat dan daerah tidak sinkron seperti konflik lahan dan penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi yang tidak tidak sinkron dengan Kementerian Kehutanan."Misalkan pemerintah pusat sudah memberikan perizinan kepada kita, tetapi [pemerintah] daerah tidak mengizinkan. Ini sudah meresahkan kita," ujarnya.Kebijakan dana reboisasi tidak dikembalikan kepada pengusaha kehutanan untuk melakukan pengelolaan hutan, katanya, menjadi kendala bagi pelaku usaha.  Jumlah pengusaha kehutanan saat ini sekitar 421 anggota. Sektor kehutanan, lanjutnya, pernah menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar di luar minyak dan gas.Stering Comittee Musyawarah Nasional APHI Irsyal Yasman mengatakan hanya 60% dari total 421 pengusaha kehutanan yang masih aktif.Isu pada Hutan Tanaman Industri (HTI), katanya, soal lingkungan, tumpang tindih lahan, dan kebijakan pusat-daerah tidak sinkron. "Ini tantangan ke depan yang berat. Di satu pihak harus berusaha, tetapi konflik lahan sangat tinggi."Total luas HTI sekitar 9 juta-10 juta hektare, tetapi belum ditanami seluruhnya, karena ada beberapa pemegang izin HTI yang tidak aktif. (Bsi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper