Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat mengungkapkan tiga persoalan fundamental yang membuat bauran energi baru terbarukan (EBT) masih tak mencapai target.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat saat ini pemanfaatan EBT dalam bauran energi nasional baru mencapai 13,9%. Kementerian ESDM pun memperkirakan proporsi EBT dalam bauran energi nasional hanya mencapai 14,1% pada akhir 2024.
Kendati demikian, proyeksi ini masih jauh dari target yang dicanangkan pemerintah dalam Kebijakan Energi Nasional yakni sebesar 23% pada 2025.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai terdapat tiga persoalan fundamental yang membuat pengembangan energi terbarukan lambat.
Pertama, daya tarik investasi EBT Indonesia rendah karena inkonsistensi kebijakan atau hambatan regulasi. Selain itu, subsidi pada energi fosil dalam bentuk harga domestic market obligation (DMO) untuk batu bara dan gas sehingga harga EBT sulit bersaing.
Kedua, pengembangan energi terbarukan hanya mengandalkan PLN atau PLN sentris. Oleh karena itu, transisi energi tergantung pada PLN.
Baca Juga
"Padahal daya tarik investasi proyek-proyek EBT PLN kurang atraktif dan bankabalility-nya rendah sehingga investor kurang berminat," ucap Fabby kepada Bisnis, Rabu (18/12/2024).
Ketiga, kendala pengadaan pembangkit EBT PT PLN (Persero). Menurut Fabby, PLN tidak melakukan bulk procurement EBT secara reguler dan terjadwal. Belum lagi, proses perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) atau power purchase agreement (PPA) yang panjang.
Oleh karena itu, Fabby mengingatkan pemerintah untuk terus mendorong proporsi EBT dalam bauran energi nasional. Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto harus memimpin evaluasi hambatan pengembangan EBT.
"Karena defisit ini akan berdampak pada keamanan pasokan listrik kita dalam 2-3 tahun mendatang," imbuh Fabby.
Selain itu, pemerintah juga harus melakukan reformasi pengelolaan PLN dan memperbaiki persoalan pengadaan pembangkit EBT di perusahaan pelat merah tersebut.
Selanjutnya, pemerintah juga perlu melakukan akselerasi EBT dalam 2 tahun mendatang.
"Saya kira yang paling cepat adalah membangun PLTS [pembangkit listrik tenaga surya], baik PLTS terapung dan PLTS atap dan percepatan PPA proyek-proyek panas bumi, hidro, PLTMH [pembangkit listrik tenaga mikro hidro] yang mandek," kata Fabby.
Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Eniya Listiyani mengungkapkan proporsi EBT dalam bauran energi nasional saat ini baru mencapai 13,93%. Eniya pun menargetkan proporsi EBT bisa mencapai 14,1% pada akhir 2024 ini.
Sementara itu, realisasi investasi sub sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) mencapai US$1,49 miliar atau setara Rp24 triliun (asumsi kurs Rp16.110 per dolar AS) per awal Desember 2024.
Mengacu data Kementerian ESDM, realisasi investasi tersebut masih belum mencapai target yang dipatok tahun ini sebesar US$2,6 miliar.
"Realisasi investasi adalah sebesar US$1,49 miliar," ucap Eniya dalam acara Apresiasi Kinerja Stakeholder EBTKE 2024 di Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Dia mengatakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari energi panas bumi mencapai Rp2,08 triliun. Sementara itu, PNBP dari Balai Besar Survei dan Pengujian (BBSP) KEBTKE mencapai Rp29 miliar.
Sementara itu, tambahan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan mencapai 547,41 megawatt (MW) per Desember 2024. Dengan begitu, total kapasitas pembangkit EBT saat ini mencapai 14.110 MW.