Bisnis.com, JAKARTA — Bahana Sekuritas menuturkan bahwa pelemahan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China yang terjadi secara bersamaan memerlukan respons kebijakan dari Bank Indonesia (BI).
Ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro menuturkan bahwa langkah tersebut diperlukan lantaran Indonesia tidak kebal terhadap dampak negatif dari perlambatan dua ekonomi terbesar di dunia tersebut.
"Indonesia tidak kebal terhadap dampak negatif, dengan PMI manufakturnya yang telah turun di bawah 50 selama dua bulan berturut-turut karena memburuknya permintaan eksternal," jelas Satria dalam pernyataan resminya, Senin (16/9/2024).
Adapun, Satria menuturkan bahwa reli terkini di pasar obligasi AS dan China adalah reaksi terhadap perlambatan global yang tengah berlangsung.
"Sejak pertemuan suku bunga BI bulan lalu, imbal hasil obligasi AS2y yang sensitif terhadap kebijakan telah turun dari 4,0% menjadi 3,5% sekarang, yang secara efektif setara dengan pelonggaran tambahan sebesar 50 bps dari AS," tuturnya.
Sebagai catatan, mengutip Reuters, Institute for Supply Management (ISM) menuturkan bahwa PMI AS mengalami kenaikan pada Agustus 2024, menjadi 47,2 dari 46,8 pada Juli 2024, angka terendah sejak November 2023.
Baca Juga
Adapun, angka PMI di bawah 50 mengindikasikan kontraksi di sektor manufaktur, yang menyumbang 10,3% dari perekonomian Negeri Paman Sam.
Untuk manufaktur China, Biro Statistik Nasional melaporkan penurunan menjadi 49,1 dari 49,4 pada Juli 2024. Angka ini merupakan penurunan keenam berturut-turut dan bulan keempat di bawah angka 50.
Dilaporkan bahwa setelah kuartal II/2024 yang 'suram', China semakin kehilangan momentumnya pada Juli 2024. Hal ini mendorong pembuat kebijakan untuk mengisyaratkan perubahan dari strategi 'tradisional' yang biasanya berfokus pada proyek infrastruktur, menuju stimulus baru yang ditargetkan pada rumah tangga.