Bisnis.com, JAKARTA - Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporannya menuturkan prospek kawasan Asia dan Pasifik yang semakin cerah walaupun masih ada risiko. IMF pun kemudian memberikan beberapa saran.
IMF dalam laporan Regional Economic Outlook Asia and Pacific yang dirilis pada Selasa (30/4/2024) memproyeksikan pertumbuhan di kawasan ini mencapai 4,5% pada 2024, naik 0,3% dari proyeksi pada Oktober 2023.
"Pertumbuhan lebih baik dari yang diproyeksikan sebelumnya, tetapi akan melambat dari 5% pada 2023 menjadi 4,5% pada 2024. Kawasan ini secara inheren tetap dinamis dan menyumbang sekitar 60% dari pertumbuhan global," jelas Direktur Departemen Asia dan Pasifik, Krishna Srinivasan dalam Press Briefing, Selasa (30/4/2024).
Namun, di lain sisi, IMF melihat bahwa terdapat beberapa risiko perlu dihadapi di kawasan. IMF kemudian memberikan sejumlah saran menimbang kondisi inflasi yang variatif, defisit publik, perekonomian di China dan juga kawasan Asia dan Pasifik yang bergantung pada perdagangan.
Inflasi yang Beragam
Walaupun pertumbuhan permintaan di kawasan menguat, inflasi di Asia terus menurun. Kemudian, disinflasi juga tampak tidak merata.
Menimbang hal ini, IMF menyarankan bahwa bank sentral perlu fokus pada kondisi domestik dan menghindari pengambilan keputusan yang terlalu bergantung pada jalur suku bunga The Fed.
Baca Juga
Meskipun mengikuti The Fed dapat membatasi volatilitas nilai tukar, hal ini berisiko membuat bank sentral tertinggal dari kurva dan mengacaukan ekspektasi inflasi.
Mengatasi Defisit Publik
Pemerintah di negara-negara Asia disarankan perlu mengambil kebijakan-kebijakan untuk mengurangi utang dan defisit dengan urgensi yang lebih besar.
Berdasarkan perkiraannya, dengan rencana fiskal saat ini, rasio utang akan stabil di sebagian besar negara, asalkan pemerintah mendukung rencana tersebut dengan kebijakan konkret dan menindaklanjutinya. Namun, utang tetap lebih tinggi daripada sebelum pandemi.
Untuk mengurangi tingkat utang dan pembayaran utang, pemerintah perlu merampingkan pengeluaran dan meningkatkan pendapatan.
Properti dan Kebijakan China
Risiko utama bagi kawasan tetaplah koreksi sektor properti yang berkepanjangan di China. Lemahnya sektor properti dapat melemahkan permintaan dan dapat meningkatkan kemungkinan deflasi yang berkelanjutan.
Selain itu, penurunan harga ekspor China juga dapat memberikan tekanan pada margin keuntungan para pesaing negara tersebut. Hal ini menandakan respon kebijakan China penting bagi negaranya sendiri dan kawasan.
Menurutnya, paket kebijakan yang mempercepat keluarnya pengembang properti yang tidak layak, mendorong selesainya proyek-proyek perumahan dan mengelola risiko utang pemerintah daerah akan meningkatkan kepercayaan diri, mendukung permintaan, dan membantu perekonomian kembali pulih.
Sementara, kebijakan-kebijakan yang meningkatkan pasokan akan memperburuk kelebihan kapasitas, memperkuat tekanan deflasi dan memicu gesekan perdagangan.
Perdagangan Asia
Semakin banyaknya kebijakan yang membatasi perdagangan, hal ini akan menjadi hal yang buruk bagi sebuah wilayah yang telah mendapatkan manfaat dari keterbukaan perdagangan. Hasilnya adalah pemanjangan rantai pasokan yang tidak efisien.
Menimbang hal ini, para pembuat kebijakan harus berhati-hati untuk tidak memperburuk gesekan perdagangan. IMF juga melihat kecenderungan yang meningkat untuk menerapkan kebijakan industri. Meskipun kebijakan ini mengejar berbagai tujuan, seringkali mereka mencakup elemen yang mengganggu perdagangan.
Di luar jangka pendek, penuaan populasi, perlambatan pertumbuhan produktivitas, dan teknologi baru seperti kecerdasan buatan menghadapkan para pembuat kebijakan di Asia pada tantangan penting.
Walaupun respons kebijakan harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara, ada kebutuhan umum untuk berinvestasi dalam modal, infrastruktur digital, dan keterampilan tenaga kerja, untuk mempertahankan peran Asia sebagai mesin pertumbuhan ekonomi dunia.