Bisnis.com, JAKARTA - Setelah sempat mengalami penundaan akhirnya Sekretariat JETP (Just Energy Transition Partnership) meluncurkan draf Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) pada awal November 2023.
Seperti diketahui, di sela-sela KTT G20 di Bali 2022 lalu, Indonesia berhasil menggalang pendanaan untuk transisi energi dari negara-negara industri maju. Skema pendanaan itu bernama JETP. Skema pendanaan itu diperuntukan untuk mempercepat pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim, dari sektor energi.
Salah satu syarat dari pendanaan itu adalah Indonesia harus menyusun CIPP.
Negara-negara kaya yang akan mendanai transisi energi dalam JETP adalah negara-negara yang lebih dahulu dan besar dalam mencemari atmosfir dengan GRK. Posisi historis ini sejatinya bisa menjadi pijakan untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam diplomasi energi. Namun, bila melihat dokumen CIPP JETP, justru kita melihat diplomasi energi pemerintah sangat lemah.
Lemahnya posisi Indonesia dalam diplomasi iklim nampak dari komposisi pendanaan transisi energi dalam draf dokumen CIPP JETP tersebut. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa komposisi dana hibah hanya US$0,3 billion dari total pendanaan US$21,5 billion. Lebih dari 95% pendanaan JETP berupa utang luar negeri.
Di lihat dari sudut manapun, komposisi pendanaan yang didominasi utang ini tentu sangat tidak mencerminkan keadilan iklim. Bagaimana tidak, negara-negara kaya yang lebih dahulu dan besar mencemari atmosfer justru membebani Indonesia dengan utang baru atas nama transisi energi.
Baca Juga
Di tengah krisis iklim, Indonesia harus melakukan mitigasi (pengurangan emisi GRK) dan adaptasi secara hampir bersamaan. Kedua kegiatan itu tentu membutuhkan anggaran yang cukup besar. Beban utang baru atas nama transisi energi akan mengurangi kapasitas anggaran pemerintah dalam melakukan adaptasi.
Alih-alih memperhatikan kepentingan warga negara yang terancam menjadi korban krisis iklim, pemerintah justru membebani utang baru yang harus dibayar setiap warga negara melalui uang pajaknya. Wajah publik hilang dalam CIPP JETP.
Hilanngya wajah publik dalam dokumen CIPP JETP juga terlihat dalam orientasi pendanaan untuk energi terbarukan. Dalam dokumen CIPP JETP sangat terlihat sekali bahwa orientasi pendanaan pengembangan energi terbarukan diarahkan kepada pengembangan pembangkit listrik dari energi terbarukan skala besar saja. Sementara energi terbarukan berbasis masyarakat tidak diperhatikan sama sekali.
Padahal energi terbarukan berbasis komunitas ini bisa membuka akses warga miskin, utamanya yang berada di kawasan terpencil, terhadap listrik. Warga miskin di kawasan terpencil juga memiliki hak atas pembangunan yang sama dengan warga di perkotaan lainnya. Hak atas energi atau listrik adalah bagian dari hak atas pembangunan. Konsekuensi dari hak atas pembangunan itu adalah kewajiban pemerintah untuk memenuhinya.
Dalam dokumen CIPP JETP terlihat sekali pemerintah seperti enggan untuk memenuhi hak warga atas pembangunan tersebut, dalam konteks ini tentu saja adalah hak warga untuk ikut berperan dalam pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas.
Di Indonesia, dari Sabang hingga Marauke, energi terbarukan berbasis masyarakat sudah ada. Salah satunya di Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem. Di desa tersebut terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang menyuplai listrik rumah tangga. Terdapat 17 kepala keluarga dan 3 fasilitas umum serta tempat ibadah yang menjadi penerima manfaat listrik tenaga surya ini.
Tak hanya di Bali, energi terbarukan berbasis masyarakat juga ada di Jawa Barat, tepatnya di Kasepuhan Ciptagelar. Di kawasan masyarakat adat terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Sejak tahun 1988 masyarakat adat di Ciptagelar memanfaatkan aliran air Sungai Cisono dan Ciboreno untuk menghasilkan listrik untuk disalurkan ke ribuan rumah di Ciptagelar.
Pembangkit listrik tenaga surya juga ada di Muara Enggelam, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pembangkit listrik tenaga surya ini berkapasitas 30 kilo watt peak (KWp). Pembangkit tersebut telah beroperasi sejak 1 Februari 2015. Pembangkit listrik tenaga surya ini memiliki 152 pelanggan rumah tangga dan fasilitas umum.
JETP harusnya menjadi pintu masuk bagi negara untuk melipatgandakan energi terbarukan berbasis komunitas ini. Namun, dalam dokumen CIPP JETP, pemerintah masih menggunakan paradigma usang dalam melihat masyarakat. Dalam dokumen CIPP JETP itu terlihat sekali pemerintah masih melihat masyarakat hanya sebagai konsumen dari energi terbarukan bukan sebagai warga negara yang bisa juga menjadi produsen energi terbarukan. Paradigma usang ini yang membuat dokumen CIPP JETP kehilangan spirit keadilan iklim.
Bila kita membaca draf dokumen CIPP JETP, kita tidak akan menemukan cerita tentang Indonesia dalam menyelamatkan bumi melalui transisi energi. Dalam dokumen tersebut, kita justru akan menemukan cerita-cerita dari negara-negara kaya yang ingin mengalihkan tanggung jawabnya atas dosa-dosa ekologi di Indonesia. Dokumen CIPP JETP adalah wajah buram diplomasi energi Indonesia. Tidak ada wajah publik di dalamnya. Dalam dokumen JETP yang terlihat justru wajah-wajah yang mewakili kepentingan ekonomi-politik negara-negara maju yang ingin mencuci dosa ekologinya di Indonesia.