Bisnis.com, JAKARTA – Korporasi korporasi multinasional yang beroperasi di Pakistan kesulitan melakukan repatriasi laba mereka lantaran negara tersebut mengalami kekurangan dolar AS.
Menurut kamar dagang berbasis di Karachi yang mewakili perusahaan multinasional, pendapatan sekitar US$1 miliar hingga US$2 miliar dari perusahaan seperti Nestlé SA, Unilever Plc, dan Philip Morris terjebak di bank-bank Pakistan selama hampir 18 bulan.
Tak hanya itu, hambatan dalam memindahkan uang dari Pakistan juga memukul keras banyak industri. Contohnya, maskapai-maskapai penerbangan menghadapi masalah arus kas.
"Pakistan pernah menghadapi masalah ini di masa lalu tetapi tidak pernah sebesar ini," jelas kepala penasihat di Vector Securities Pvt yakni sebuah perusahaan pialang keuangan, Suleman Rafiq Maniya, seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (5/10/2023).
Berdasarkan data bank sentral, pengiriman kembali keuntungan dan dividen turun sebanyak 88 persen menjadi US$331 juta dalam tahun fiskal yang berakhir pada bulan Juni.
Dalam dua tahun terakhir, nilai rupee Pakistan juga telah anjlok 42 persen, yang berarti setiap perusahaan yang dipaksa untuk menyimpan keuntungan di negara ini merugi.
Baca Juga
Pabrik-pabrik kemudian tutup untuk sementara waktu karena mereka tidak memiliki dolar untuk mengimpor bahan mentah. Perekonomian Pakistan juga berada di titik terendah sejak negara tersebut didirikan pada 1940-an.
Kepala keuangan Unilever Pakistan mengatakan bahwa hal ini sama sekali tidak ideal. Perusahaan yang berkantor pusat di Inggris ini juga telah memulai diskusi dengan pihak berwenang Pakistan mengenai masalah arus kas keluar.
Seorang juru bicara Nestlé Pakistan pada bulan lalu juga menuliskan dalam emailnya, bahwa perusahaannya juga sedang melakukan dialog rutin dengan para pemangku kepentingan yang relevan.
Sebagaimana diketahui, Pakistan berhasil menghindari gagal bayar dengan mendapatkan kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada Juli 2023, namun masih berjuang untuk pulih. Baru-baru ini, situasi sedikit membaik dengan adanya aliran dan keluar sebesar US$47 juta pada Agustus 2023.
Wakil presiden regional untuk Asia Pasifik di International Air Transport Association, Philip Goh juga menuturkan nilai dana yang ingin dikirim oleh maskapai-maskapai asing ke luar negeri masih sangat tinggi yaitu sebesar US$207 juta, walaupun telah menurun sejak awal 2022.
Perusahaan-perusahaan juga mengatakan bahwa mereka telah mencoba beradaptasi dengan kelangkaan dolar, dengan mencari bank-bank yang yang memiliki akses ke mata uang tersebut atau mengalirkan uang kembali ke operasi mereka di Pakistan.
CEO Pakistan Business Council Ehsan Malik mengatakan bank sentral kini juga memungkinkan perusahaan untuk menginvestasikan keuntungan mereka dalam surat berharga pemerintah, sehingga uang tidak menganggur dan memberikan pengembalian yang mendekati rekor suku bunga sekitar 22 persen.
Selain itu, pemerintah Pakistan juga ingin mencegah perusahaan-perusahaan multinasional menarik bisnis mereka dengan membentuk dewan investasi baru yang memberikan keringanan pajak dan bertujuan untuk mengumpulkan US$25 miliar dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Namun belum diketahui apakah langkah-langkah tersebut dapat dinilai cukup. Di lain sisi, masih banyak perusahaan melihat Pakistan sebagai tempat yang layak untuk berinvestasi, mengingat urbanisasi yang cepat dan populasi muda.
"Kami berharap situasi ini akan membaik dalam jangka panjang untuk mendapatkan kembali kepercayaan investor asing terhadap Pakistan," jelas seorang juru bicara Philip Morris (Pakistan) Ltd.