Bisnis.com, JAKARTA - Berbicara kebijakan makroprudensial tentu tidak dapat terlepas dari Bank Indonesia sebagai otoritas yang memiliki wewenang dalam mengeluarkan berbagai kebijakan dalam tatanan makro ekonomi di Indonesia.
Dikutip dari website Bank Indonesia, Berdasarkan UU Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), tujuan Bank Indonesia adalah mencapai stabilitas nilai Rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu tugas Bank Indonesia adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial. Kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia tersebut akan memberikan dampak pada fluktuasi berbagai aspek perekonomian di Indonesia, seperti pertumbuhan kredit, tabungan serta sejumlah instrument stabilitas sistem keuangan lainnya.
Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 200 juta lebih, memiliki potensi ekonomi yang sangat besar dan bahkan memiliki peluang menjadi salah satu pemain utama dalam perekonomian di dunia.
Mungkin sering kita dengar, bahwa UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) merupakan penggerak utama perekonomian di negeri ini, dan bahkan menjadi salah satu penyelamat ekonomi Indonesia saat krisis ekonomi Asia tahun 1998.
Bila ditinjau pada fakta dan data yang ada, ternyata hal tersebut bukanlah isapan jempol semata, bila kita lihat berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kementerian KUKM) pada tahun 2021, jumlah pelaku UMKM di Indonesia mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 61,07 persen atau Rp8.573,89 triliun. UMKM mampu menyerap 97 persen dari total angkatan kerja dan mampu menghimpun hingga 60,4 persen dari total investasi di Indonesia.
Baca Juga
Dengan besarnya kontribusi UMKM terhadap perekonomian di Indonesia tersebut, apakah berbanding lurus dengan jumlah penyaluran kreditnya? Ternyata tidak demikian, melihat pada data Bank Indonesia bulan Desember 2022, ternyata penyaluran kredit UMKM di Indonesia baru mencapai nilai Rp1.236,8 atau secara persentase baru mencapai 19,85% dari total kredit perbankan di Indonesia.
Secara sederhananya apabila kita ingin menjaga agar UMKM di negara kita dapat bertumbuh atau minimal bertahan di tengah ketatnya persaingan saat ini, diperlukan adanya dukungan permodalan yang memadai terutama dari lembaga keuangan formal seperti perbankan.
Sebab jika tidak adanya dukungan tersebut, dikhawatirkan UMKM justru akan terjebak pada pembiayaan yang justru akan menjerumuskan usaha mereka pada jurang kemerosotan skala usaha, contohnya rentenir ataupun pinjol illegal.
Lalu apa kaitannya antara kebijakan makroprudensial dengan pertumbuhan usaha UMKM? Bukankah pada saat ini Bank Indonesia tidak lagi menangani secara langsung mengenai perbankan maupun lembaga keuangan?
Nah, justru disinilah Bank Indonesia harus dapat memanfaatkan otoritasnya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia khususnya dalam lingkup UMKM namun tidak terbatas hanya pada sekedar program pengembangan UMKM baik melalui PSBI ataupun program lainnya yang telah ada tetapi juga dengan melakukan upscaling pada kebijakan makroprudensial yang ada pada saat ini.
Suatu mesin akan dapat bergerak dengan baik apabila diberikan dorongan yang maksimal, semakin besar dorongan yang diberikan maka akan semakin cepat pula laju mesin tersebut, contohnya pada mobil, semakin baik bahan bakar yang diberikan maka akan semakin cepat dan semakin stabil pula laju mobil tersebut. Analogi tersebut tidak ada bedanya dengan mesin perekonomian yang ada pada saat ini.
Jika kita kembali pada pembahasan bagaimana jumlah persentase penyaluran kredit pada sektor UMKM, dibutuhkan suatu terobosan dari Bank Indonesia selaku pemegang kebijakan makroprudensial untuk mendorongnya. Selama ini, Bank Indonesia sebenarnya telah memberikan insentif bagi para Bank penyalur kredit UMKM yaitu berupa penurunan Giro Wajib Minimum, namun kebijakan ini masih dapat disempurnakan lagi dalam hal penerapannya.
Penurunan GWM tentunya memberikan ruang lebih bagi perbankan untuk dapat menyalurkan kredit lebih banyak lagi, namun juga memiliki risiko bahwa perbankan tidak akan memanfaatkan ruang tersebut untuk menyalurkan pembiayaannya kepada sektor UMKM dan justru kepada sektor usaha besar, oleh sebab itu, perlu dilihat peluang insentif lainnya yang dapat diberikan oleh Bank Indonesia kepada perbankan.
Dari potensi risiko tersebut, diperlukan adanya langkah konkrit dalam menjaga agar proporsi kredit bagi UMKM tetap bertumbuh sehingga diharapkan akan dapat menopang peran UMKM sebagai pilar utama perekonomian Indonesia.
Selama ini, insentif pelonggaran GWM hanya diberikan dengan melihat apakah suatu perbankan tersebut telah menyalurkan pembiayaan bagi UMKM atau tidak. Kebijakan yang sudah sangat baik ini masih bisa disempurnakan kembali dalam rangka merangsang perbankan untuk memberikan proporsi lebih dalam pembiayaan bagi UMKM.
Langkah yang dapat dilakukan yaitu dengan mengubah skema pemberian insentif dengan melihat bagaimana pertumbuhan penyaluran kredit UMKM yang dilakukan oleh suatu perbankan, semakin tinggi penyalurannya maka semakin besar pula insentif yang diberikan oleh Bank Indonesia. Namun begitu juga sebaliknya, untuk menjaga momentum, diberlakukan juga suatu skema punishment bagi perbankan apabila tidak ada pertumbuhan sama sekali dalam penyaluran kredit bagi UMKM.
Penerapan skema ini juga menjadi suatu langkah yang sangat baik bagi Bank Indonesia untuk menghindari kesan “insentif hanya sekedar insentif”, sebab dengan skema ini kita akan dapat mengukur sejauh mana hasrat perbankan untuk membangun perekonomian dengan skala mikro, tidak hanya bertumpu pada kredit korporasi besar.
Mungkin dengan penerapan skema insentif ini, akan timbul suatu pertanyaan yaitu bagaimana dengan potensi risiko yang ada pada kredit mikro? Bukankah selama ini kredit mikro juga memiliki potensi gagal bayar yang tinggi mengingat sebagian besar para debiturnya adalah masyarakat berpenghasilan menengah?
Disinilah pilar Koordinasi antar lembaga dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan dapat dimainkan, dimana dalam hal ini Bank Indonesia dapat mendorong Otoritas Jasa Keuangan untuk memperkuat pengelolaan debitur mikro, caranya dengan apa? Yaitu dengan penguatan maintenance debitur oleh perbankan.
Dengan demikian, mindset perbankan dalam penyaluran kredit mikro tidak hanya sekedar hubungan antara bank dengan debitur dimana perbankan hanya tahu untuk menagih, namun menjadi hubungan antara pemodal dengan mitra yang saling mendukung kemajuan usaha untuk kepentingan bersama.
Mengacu pada Undang-undang yang berlaku , memang Bank Indonesia dicukupkan hanya pada wewenang terkait makroprudensial saja, namun dengan berbagai instrument yang ada dalam berbagai kebijakan makroprudensial yang ditopang oleh sinergi antar lembaga, makan bukan menjadi suatu hal yang mustahil kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia akan memberikan dampak yang nyaris langsung kepada masyarakat dalam tatanan ekonomi mikro. Dengan ekonomi yang kuat, maka Indonesia pun akan menjadi negara yang maju.