Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) tidak memungkiri bahwa teknologi ramah lingkungan yang diperlukan untuk menuju green economy tidak murah dan perlu adanya pembiayaan khusus.
Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan terdapat beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu dengan pembiayaan sekunder seperti green bond atau sustainability linked bond.
“Kalau perusahaan memiliki skor ESG [environment, social, governance] yang sangat baik, bisa mendapatkan cost of financing yang jauh lebih terjangkau. Sebenarnya korelasinya nanti ke sana, pembiayaan murahnya jadi semakin banyak,” katanya dalam Bisnis Indonesia – Green Economy Forum 2023, Rabu (7/6/2023).
Bhima yang hadir bersama Direktur Utama PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) Rahmad Pribadi, mencontohkan perusahaan pupuk tersebut telah mengarah pada produk green ammonia sebagaimana pemerintah Jepang mendorong hidrogen).
Tidak menjadi satu masalah menurut Bhima bila suatu perusahaan pupuk berencana menjual clean amonia yang berpotensi menjadi bahan bakar.
“Artinya dari dekarbonisasi itu juga memunculkan inovasi-inovasi untuk pendapatan sampingan di luar dari core bisnisnya dan nggak ada masalah sepertinya. Jadi itu menjadi satu solusi untuk mencari tambahan investasi baru,” tambah Bhima.
Baca Juga
Meski demikian, untuk mendapatkan pembiayaan, biasanya pemberi biaya akan melihat apakah perusahaan memang betul-betul berkomitmen dan bukan hanya janji di atas kertas.
Artinya, jelas Bhima, perusahaan memiliki perencanaan yang jelas dan beberapa juga melihat dari sisi aset perusahaan yang berisiko menjadi stranded asset atau aset yang mengalami penurunan nilai.
“Jadi kalau shiftingnya kepada clean amonia tadi saya kira sudah pada jalur yang benar bahwa stranded asset-nya bisa digantikan dengan aset yang nilainya tidak turun tapi justru future valuenya akan naik,” jelasnya.
Adapun dalam hal ini, bukan hanya terbatas pada perusahan pupuk, namun juga perusahaan lain yang berusaha mendapatkan pembiayaan dalam mendukung green energy.
Di dalam negeri, Indonesia telah memiliki green sukuk ritel. Pada 2023, pemerintah melalui penerbitan Sukuk Tabungan seri ST010T2 dan ST010T4 akan digunakan untuk membiayai proyek ramah lingkungan.
Hal ini diharapkan dapat memitigasi dampak perubahan iklim dan adaptasi atas perubahan iklim yang telah terjadi.