Bahlil menuturkan kekhawatiran Korea Selatan itu relatif beralasan menyusul kebijakan Amerika Serikat yang belakangan cukup agresif untuk mengimbangi persaingan dagang serta investasi penghiliran mineral kritis serta pengembangan EBT dari beberapa negara kompetitor seperti China dan Uni Eropa.
Sementara itu, pemerintah bersama dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) khawatir mineral kritis yang berasal dari Indonesia tidak memenuhi syarat untuk mendapat kredit pajak IRA secara penuh. Adapun undang-undang itu menghimpun dana subsidi sebesar US$370 miliar untuk pengembangan teknologi bersih.
Alasannya, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan dominasi perusahaan China dalam industri hulu bijih nikel di dalam negeri.
Sementara konsorsium LG lewat HoA yang ditandatangani pada awal 2021 lalu menggandeng beberapa rekanan produsen dan manufaktur yang mayoritas berbasis di Korea Selatan seperti LG Energy Solution, LG Chem, LG Internasional dan Posco. Sedangkan satu mitra mereka berasal dari China yakni Huayou Holding.
Sebelumnya, LGI dikabarkan sempat ingin menarik komitmen investasi di usaha patungan IBC pada sisi hilir setelah implementasi UU IRA Amerika Serikat awal tahun ini.
LG disebutkan tidak tertarik untuk berinvestasi lebih lanjut hingga tingkat pabrikan baterai listrik seperti yang ditawarkan dalam perjanjian usaha patungan bersama IBC. Bahkan, LG menyerahkan negosiasi kepada rekanan konsorsium mereka Huayou Holding.