Bisnis.com, JAKARTA— Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menyoroti belum meratanya fasilitas kesehatan di Indonesia. Kondisi geografis Indonesia yang luas dan kepulauan menjadi salah satu faktor sulitnya pemerataan fasilitas kesehatan.
Kondisi tersebut menyebabkan ada sebagian peserta Program JKN yang belum bisa mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. Kendati demikian, BPJS Kesehatan tetap memberikan penjaminan bagi peserta yang tinggal di wilayah terpencil dan kepulauan serta daerah tanpa faskes yang memenuhi syarat.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan pihaknya membayarkan kapitasi khusus bagi fasilitas kesehatan yang mampu menjangkau wilayah terpencil dan kepulauan.
“Pembayaran kapitasi khusus pada tahun 2019 sampai dengan tahun 2022 sebesar Rp624 miliar untuk 180 FKTP pada 15 Provinsi di 36 Kabupaten/Kota,” kata Ghufron dalam keterangannya, dikutip Sabtu (11/2/2023).
Adapun penentuan daerah-daerahnya sesuai Permenkes Nomot 71/2013 yang ditetapkan oleh dinas kesehatan setempat atas pertimbangan BPJS Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan. Kemudian ditetapkan dengan surat keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang dapat ditinjau sewaktu-waktu menyesuaikan kondisi ketersediaan faskes di daerah tersebut.
Selain itu, BPJS Kesehatan juga melakukan uji coba pemberian kompensasi untuk daerah yang tidak ada faskes yang memenuhi syarat. Adapun kompensasi tersebut dalam bentuk pengiriman tenaga kesehatan, pengembangan analisa kebutuhan faskes berbasis data geografis, penjaminan layanan ambulans darat dan air untuk evakuasi medis antar faskes, serta pengembangan telemedisini.
Baca Juga
“Kami berharap adanya koordinasi lintas kementerian maupun lembaga dalam distribusi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan pada wilayah terpencil perbatasan dan kepulauan. Kami juga mendorong, penyusunan regulasi pendukung dalam penjaminan layanan di wilayah yang tersedia faskes memenuhi syarat,” tandas Ghufron.
Sementara itu, Ketua Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia (IEKI) Hasbullah Thabrany menilai perlu ada kolaborasi bersama baik pemerintah maupun inisiatif masyarakat dalam mengoptimalkan layanan kesehatan bagi wilayah terpencil dan kepulauan.
“Perlu sikap avonturir dan kerjasama multisektor. Akademisi dan pemerhati kebijakan harus bisa mengidentifikasi kebutuhan medis dan kebutuhan epidemiologis daerah terpencil,” katanya.
Hasbullah menjelaskan Pemerintah melalui Kemterian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BPJS Kesehatan perlu menghitung biaya riil medis dan non medis untuk menjangkau yang belum terjangkau. Selain itu, lanjut dia, Kementerian Dalam Negeri (Kemengdari) juga harus dapat mengidentifikasi kemampuan fiskal Pemerintah Daerah (Pemda) dan berupaya memenuhi hak konstitusi masyarakat termasuk yang berada di wilayah terpencil.
Di sisi lain, Direktur RSUD Dr. H. Chasan Boesorie Ternate Alwia Assagaf mengatakan hampir 67 persen pasien merupakan peserta JKN. Dia pun menilai ada beberapa hal yang harus dioptimalkan dalam pemberian pelayanan di wilayah kepulauan pada khususnya.
“Kami menyoroti biaya non medis yang cukup tinggi terjadi untuk menjangkau peserta maupun masyarakat di kepulauan. Selain itu, masih sulitnya akses internet sehingga implementasi telemedisin maupun layanan berbasis digital misalnya rujukan online, penerbitan SEP secara online harus menjadi perhatian bersama,” katanya.
Selain itu, Alwia mengatakan masyarakat masih banyak yang memerlukan edukasi terkait Program JKN. Pasalnya masih ada yang belum memahami khususnya terkait kepesertaan.
“Baru mendaftar saat sakit maupun status kepesertaan yang non aktif karena menunggak,” ungkapnya.