Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah kementerian/lembaga pangan mengeklaim telah menjadikan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai acuan menyeimbangkan jumlah pasokan dan permintaan.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Kasan Muhri menjelaskan selama ini dalam mengolah data untuk komoditas pangan, pemerintah telah menyepakati untuk menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Hanya saja, dia menyebut, kelemahan data BPS adalah tidak melakukan publikasi data setiap harinya. Sementara itu, Kementerian Perdagangan, jelasnya, memiliki Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok atau SP2KP secara harian.
Sistem pemantauan harga harian ini melengkapi dan dipergunakan juga oleh BPS, pemerintah daerah, Badan Pangan, Kementerian Dalam Negeri, Satgas pangan, dan beberapa Lembaga/Kementerian lainnya.
Selain Kemendag dan BPS, terdapat pula data nasional Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
Menurutnya, data yang dikumpulkan dari kedua lembaga tersebut masih terbatas dan tidak seberagam data dari Kemendag.
“Kontributor data Kemendag lebih banyak. Meskipun BPS ada di seluruh kabupaten atau kota, tapi karena sampling tidak semua pasar dicatat untuk pencatatan inflasi. Karena mereka menggunakan metodologi perhitungannya setahu saya juga adalah indeks biaya hidup,” jelasnya dalam wawancara kepada Bisnis, dikutip, Rabu (1/2/2023).
Dia pun meyakini sistem SP2KP sudah lebih presisi karena pemantauan harga bahan pokok dan penting dilakukan secara harian di 20 pasar induk. Pada tahun ini, Kemendag juga berencana menambah data dari 2 pasar induk di Blitar dan Magelang.
Data tersebut juga sekaligus untuk memetakan ketersediaan pasokan bahan pangan yang biasanya menjadi masalah krusial pada bulan menjelang Ramadan dan lebaran. Selama ini, ketersediaan bahan pangan menjadi kekhawatiran masyarakat selama bulan keagamaan seperti idulfitri karena dapat mendorong kebijakan untuk melakukan impor.
Meski demikian, apabila ternyata dibutuhkan kebijakan impor, dia menegaskan keputusan tersebut bukan semata keputusan Kemendag, tapi pemerintah yang diputuskan melalui Rapat Terbatas di kantor Presiden dan Menteri Koordinator Perekonomian.
“Kalau pemerintah sudah memutuskan impor dengan mempertimbangkan kondisi pergerakan harga, stok pangan yang dimiliki pemerintah, dan fakta di lapangan, Kemendag sebagai salah satu organ pemerintah yang punya kewenangan dalam impor pangan menjalankan saja," jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaluddin Iqbal menjelaskan telah mengacu kepada data yang diakui oleh pemerintah, yakni data yang dikeluarkan oleh BPS sebagai salah satu dasar penghitungan
"Koordinasi kita dengan BPS terjalin baik. Data yang baik tentunya akan mempengaruhi kebijakan yang diambil," ujarnya.
Di sisi lain, dia juga memastikan, data milik Bulog juga tergolong menyeluruh hingga ke jaringan daerah, sehingga data yang disampaikan bisa langsung dilakukan crosscheck.
Iqbal pun berharap dengan kesinambungan data pangan dapat turut berkontribusi terhadap ketahanan pangan karena kebijakan pengelolaan pangan bisa diselesaikan dari hulu sampai dengan hilir. Bulog secara internal tengah membangun sarana infrastruktur penyimpanan dan pengolahan pangan dalam memperkuat ketahanan pangan.
Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria berpendapat komitmen pemerintah dalam menyempurnakan ketahanan pangan di Indonesia adalah dengan membentuk Badan Pangan Nasional. Dia tak meragukan banyak orang kompeten dalam pendataan pangan dalam tubuh Badan Pangan.
Terkait dengan pendataan tersebut, Arif juga menekankan pemerintah juga memutuskan untuk menyinkronkan data dengan kewenangan berada di BPS.
"Sekarang pemerintah sudah memberikan kewenangan kepada BPS. Jadi kita harus hargai kewenangan tersebut. Terlepas yang dilakukan BPS, sekarang BPS lembaga yang memiliki kewenangan yang wajib kita bantu," jelasnya.
Arif menilai sudah sepatutnya Kementerian/Lembaga lainnya yang berkaitan harus saling membantu untuk menyelesaikan masalah metodologi pendataan pangan. Metodologi ini harus merupakan kombinasi antara sampling ditambah dengan teknologi yang lebih presisi yakni satelit dan drone guna memverifikasi data.
"Menurut saya yang sekarang itu harus mulai diperkuat metodologi dikeroyok bareng-bareng. Kementerian yang komplain dengan BPS gabung dong membantu BPS. Karena BPS punya kewenangan," tekannya.
Lewat pembenahan dan penguatan metodologi serta ditambah dengan terbentuknya badan pangan, dia optimistis akan bisa mempercepat koordinasi dan menghasilkan satu data yang akurat.
"Jadi sekarang yang diperlukan kita lepaskan ego masing-masing menemukan metode yang terbaik. Jangan sampai antar kementerian lembaga beda-beda dan saling menyalahkan. Itu tradisi kurang bagus," terangnya.
Dari sisi internal IPB, Arif menyampaikan telah mulai meluncurkan program Data Desa Presisi yang menggunakan drone agar secara akurat bisa mendata hingga jumlah hektar sawah yang ada di sebuah desa.
Penggunaan teknologi tak terelakkan akan lebih membantu untuk mengumpulkan pendataan sekaligus memiliki tingkat deviasi yang lebih rendah dibandingkan dengan metode konvensional.
Selain itu, pemetaan berbasis digital yang diterapkan mulai dari tingkat desas penting untuk lebih dahulu presisi. Pasalnya, apabila dari data desa saja sudah tidak akurat bisa berimbas kepada data Kecamatan dan Provinsi yang melenceng.