Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa 2023 akan menjadi tahun yang berat bagi Indonesia untuk meraup potensi penanaman modal.
Menurut Bahlil, kinerja investasi pada 2023 akan dipengaruhi oleh dua hal, yakni terkait dengan kondisi global tentang ancaman resesi yang akan dihadapi oleh sejumlah negara dan kondisi domestik Indonesia yang mulai memasuki tahun politik tahun ini.
Dari sisi global, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan berjalan lambat menjadi 2,7 persen pada tahun ini. Angka ini mencerminkan bahwa sepertiga ekonomi dunia akan menghadapi technical recession.
“Beberapa lembaga dunia menyatakan bahwa potensi resesi global sangat besar, tinggal hari ini yang menjadi diskusi kita adalah seberapa dalam resesi itu. Kedalamannya apakah dalam sekali atau tidak terlalu dalam,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Selasa (24/1/2023).
Menurut Bahlil, perkembangan kondisi global saat ini telah menjadi instrumen penting karena Foreign Direct Investment (FDI) atau bisa disebut Penanaman Modal Asing (PMA), berkontribusi besar terhadap realisasi investasi di Tanah Air.
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat total realisasi investasi sepanjang 2022 mencapai Rp1.207,2 triliun. Dari jumlah tersebut, investasi PMA berkontribusi sebesar 54,2 persen atau senilai Rp654,4 triliun.
Baca Juga
Bahlil melanjutkan bahwa di tengah ketidakpastian ekonomi dan pentingnya PMA bagi Indonesia, hampir semua negara berkembang berburu modal asing. Padahal, kondisi uang beredar saat ini sangat terbatas. Hal ini yang kemudian menciptakan persaingan antarnegara.
“Jadi, di satu sisi kondisi global sedang tidak bagus sementara di sisi lain terjadi kompetisi maksimal antarsesama negara untuk menarik FDI, khususnya negara berkembang,” kata Bahlil.
KONDISI DOMESTIK
Dari sisi domestik, Bahlil menyatakan 2023 merupakan tahun politik. Tak dapat dimungkiri, tahun politik acapkali memosisikan para pebisnis untuk mengambil sikap wait and see. Oleh karena itu, dia menilai stabilitas politik akan menjadi kunci dalam mengurai persoalan ini.
“Ketika kita berdebat tentang hal-hal yang tidak substantif, maka mohon maaf investor itu akan melahirkan keraguan untuk bisa mempertahankan kita,” pungkasnya.
World Economic Forum (WEF) dalam Laporan Risiko Global 2023 menyatakan polarisasi sosial, yang kerap membayangi pada saat tahun politik dinilai dapat menghambat penyelesaian masalah kolektif untuk mengatasi risiko global.
Hal tersebut juga dinilai mampu menyebabkan perselisihan yang lebih besar, terutama saat menavigasi prospek ekonomi di tengah ketidakpastian pada tahun-tahun mendatang.
Pemilihan nasional akan berlangsung di beberapa negara G20 dalam dua tahun ke depan, termasuk Amerika Serikat, Afrika Selatan, Turki, Argentina, Meksiko, termasuk Indonesia.
Menyitir laporan WEF, polarisasi tercipta lantaran adanya misinformasi dan disinformasi jelang tahun politik. Hal ini dianggap sebagai risiko yang cukup parah oleh responden Global Risks Perception Survey (GRPS), atau menduduki peringkat ke-16 dalam risiko jangka pendek.
Informasi keliru, yang acapkali muncul pada tahun politik, telah menjadi alat untuk menyebarkan keyakinan ekstremis dan memengaruhi pemilu melalui ruang media sosial.
Dengan berbagai kondisi baik global maupun domestik, Bahlil mengakui bahwa 2023 akan menjadi tahun yang berat bagi Indonesia. “Yes, jujur saja. Tahun 2023 adalah tahun yang berat bagi Indonesia,” pungkasnya.
Meski demikian, dia meyakini ada secercah harapan yang dimiliki Indonesia agar mampu berkelit dari dampak resesi. Hal ini tecermin dari proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan tumbuh di rentang 4,8 persen hingga 5 persen secara tahunan.