Bisnis.com, JAKARTA - Menurut Menteri Koperasi dan UKM, berdasarkan data BPS 2021, sebanyak 64% dari total UMKM atau sekitar 37 juta dikelola oleh kaum perempuan. Apabila hanya melihat data tersebut, Indonesia patut berbangga karena partisipasi perempuan dalam kegiatan perekonomian sangat signifikan.
Namun, bila melihat lebih detail per segmen UMKM, dominasi tersebut lebih banyak di segmen mikro. Makin tinggi pada segmen kecil dan menengah, komposisi jumlah perempuan pelaku usaha makin mengecil. Hal ini bisa diartikan bahwa pelaku usaha perempuan menghadapi tantangan untuk bisa mengembangkan usahanya dan naik ke segmen usaha yang lebih tinggi.
Mengapa sebagian besar pelaku usaha perempuan di Indonesia berada di level mikro? Kondisi tersebut tidak terlepas dari berbagai macam tantangan yang dihadapi oleh pelaku usaha perempuan di Indonesia.
Kementerian PPA menyatakan berdasarkan studi oleh Tambunan (2017) bahwa hambatan yang dihadapi perempuan pelaku UMKM yang terbesar adalah ketiadaan dukungan keluarga dan kesulitan memperoleh izin usaha. Selain itu terdapat pula hambatan di sisi rendahnya kompetensi dan pendidikan serta beban domestik dan benturan norma pada masyarakat. Hambatan-hambatan tersebut sudah pasti akan memunculkan tantangan psikologis bagi perempuan untuk bisa maju.
Selain itu berdasarkan data Women’s World Banking (WWB) yang disampaikan dalam event W20 di Bali terdapat beberapa kondisi yang menghambat partisipasi sosial dan ekonomi perempuan serta inklusi keuangan. Salah satu kondisi yang relevan di Indonesia adalah adanya afirmasi bahwa pria sebagai kepala rumah tangga. Afirmasi tersebut dapat mengurangi inisiatif perempuan dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan kajian WWB yang didukung oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) mengenai ketahanan ekonomi dan adopsi digital pada pelaku ultra mikro, 40,8% dari pelaku usaha mikro berada di kelompok “necessity” yang mengindikasikan bahwa usaha yang dijalankan secara umum sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan belum memiliki keinginan kuat untuk mengembangkan usahanya.
Baca Juga
Temuan tersebut sekaligus mengonfirmasi dan memperkuat bahwa hambatan psikologis yang dihadapi pelaku usaha mikro khususnya perempuan itu benar-benar nyata dan sangat mempengaruhi kemampuan perempuan pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya.
PIP mendorong akses pembiayaan bagi underserved community termasuk perempuan melalui skema Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) yang sesuai dengan kebutuhan perempuan pelaku usaha mikro. Salah satu skema yang digunakan adalah skema pembiayaan kelompok. Skema kelompok memberikan dorongan keberanian bagi perempuan untuk memulai usaha.
Dengan adanya perempuan-perempuan anggota kelompok yang sudah memulai usaha dapat memberikan dukungan psikologis bagi perempuan untuk berani mengambil keputusan. Selain itu lembaga keuangan menggunakan pendekatan jemput bola sehingga para perempuan tidak harus meninggalkan usahanya dalam waktu lama untuk memperoleh pembiayaan dan membayar cicilan pinjamannya.
Manfaat penting lainnya dari skema kelompok adalah tidak diperlukannya agunan pinjaman. Mekanisme yang digunakan adalah tanggung renteng antar anggota kelompok. Sebagaimana kondisi di Indonesia, kepemilikan aset rumah tangga umumnya atas nama suami sehingga akan menyulitkan perempuan untuk menyediakan agunan pembiayaan.
Peran Pendampingan
Selain pembiayaan, pendampingan juga memegang peranan yang sangat penting untuk menumbuhkan pelaku usaha mikro. Pengalaman PIP dalam menumbuhkan pelaku usaha ultra mikro menghadapi banyak tantangan. Perubahan mindset menjadi tantangan terbesar karena kemauan untuk mengikuti pelatihan, kemauan menerima saran dari pendamping, dan kemauan untuk menyesuaikan produk dengan selera pasar dan proses produksi yang lebih berkualitas menjadi kunci dari keberhasilan pendampingan.
Akses pembiayaan bersama dengan pendampingan yang diberikan oleh PIP menjadi salah satu upaya Pemerintah dalam mendukung inklusi keuangan dan pemberdayaan perempuan. Pentingnya inklusi keuangan dan pemberdayaan perempuan ini menjadi salah satu fokus dalam G20 Leaders Declaration di Bali.
Inisiatif Kementerian PPPA dalam menyusun Pedoman Pemberdayaan Perempuan dalam Kewirausahaan Berperspektif Gender patut diapresiasi dan diharapkan mampu mensinergikan berbagai upaya untuk pemberdayaan perempuan pelaku usaha.
Khususnya terkait dengan akses pembiayaan bagi perempuan pelaku usaha, masih perlu dipikirkan lagi untuk menyusun skema pembiayaan yang kreatif yang lebih ramah bagi perempuan.