Bisnis.com, JAKARTA – Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) atau omnibus law keuangan mengamanatkan pembentukan badan supervisi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Jika dibedah pasal demi pasal dan ayat demi ayat, keberadaan badan supervisi LPS dan OJK di dalam tubuh UU PPSK tercantum di UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS di antara Pasal 89 dan Pasal 90, serta UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK di antara Bab IX dan Bab X.
Nantinya, melalui UU PPSK ini akan dibentuk badan supervisi LPS dan OJK untuk membantu DPR melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap LPS dan OJK untuk meningkatkan kinerja, akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan di masing-masing sektor keuangan, yakni LPS dan OJK.
Disebutkan bahwa badan supervisi LPS akan bertugas membantu DPR mulai dari membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan LPS dan OJK, melakukan pemantauan untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, kredibilitas kelembagaan LPS dan OJK, serta menyusun laporan kinerja.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai pembentukan badan supervisi LPS dan OJK merupakan bagian dari mengadaptasi atau mengadopsi kelembagaan yang sebelumnya sudah tertanam di Bank Indonesia (BI).
“Karena OJK dan LPS juga merupakan lembaga yang independen atau tidak bisa diintervensi langsung oleh pemerintah, sehingga saya menilai ini krusial [pembentukan badan supervisi LPS dan OJK] penting untuk keberadaan lembaga pengawas supervisi OJK maupun LPS,” ujar Eko saat dihubungi Bisnis, Jumat (16/12/2022).
Oleh sebab itu, Eko menyarankan agar keanggotaan badan supervisi diisi oleh orang-orang yang ahli dan paham di sektor jasa keuangan. Di samping itu, imbuh Eko, tugas dari badan supervisi juga tidak hanya condong pada pengawasan yang bersifat administratif, sebab tugas dan fungsi tersebut sudah dilakukan oleh BPK maupun lembaga audit internal lainnya.
“Harapannya [badan supervisi LPS dan OJK] diisi orang-orang profesional dan berfungsi untuk menyeimbangkan pengawasan. Kalau mau masuk ke anggaran kebijakan juga harus hati-hati karena independensi di UU dilindungi bahwa di dalam pengambilan keputusan tidak bisa diintervensi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Eko memandang badan supervisi LPS dan OJK akan berjalan efektif apabila memiliki peraturan serta arahan yang detil dan jelas di dalam pengambilan keputusan.
“Jadi harus ada based-policy, riset, dan kajian. Di sanalah lembaga pengawas ini bisa mem-balancing sisi governance terutama dari keberadaan lembaga-lembaga independen OJK dan LPS,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan bahwa pembentukan badan supervisi di LPS dan OJK melalui UU PPSK diyakini merupakan elemen krusial sebagai bagian dari check and balance untuk meningkatkan kinerja, akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan masing-masing otoritas di sektor keuangan.
Merujuk pada UU PPSK, masa jabatan untuk anggota badan supervisi akan mengemban tugas selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Sementara itu, anggaran badan supervisi baik LPS maupun OJK masing-masing bersumber dari anggaran operasional LPS dan OJK. Selanjutnya, ketentuan mengenai organisasi, tata kerja, dan anggaran badan supervisi LPS dan OJK diatur dalam Peraturan LPS dan Peraturan OJK (POJK) setelah dikonsultasikan dengan DPR.
Terkait keanggotaan, badan supervisi LPS dan OJK berjumlah paling sedikit 5 orang yang dipimpin oleh 1 orang ketua yang dipilih dari dan oleh anggotanya. Sementara itu, anggota badan supervisi diseleksi dan dipilih oleh DPR. Adapun, salah satu syarat untuk menjadi anggota badan supervisi adalah bukan pengurus partai politik saat pencalonan.