Bisnis.com, JAKARTA - Praktik pelanggaran terhadap dimensi dan muatan angkutan barang atau over load over dimension (ODOL) di jalanan diperkirakan sudah berlangsung selama 20 tahun. Menurut, Supply Chain Indonesia (SCI), hal semacam ini cenderung menguntungkan pengusaha, dalam konteksnya selaku pemilik barang.
"Kalau bicara mengenai pelanggaran ODOL, ini sudah cukup lama sekitar 20 tahunan. Artinya pengusaha ini sudah menikmati posisinya dengan cara memaksa para transporter untuk mengangkut lebih berat dengan harga lebih murah," kata Senior Consultant SCI Sugi Purnoto, Minggu (27/11/2022).
Menurut Sugi, keresahan soal praktik pemuatan barang melebihi Jumlah Berat yang Diizinkan (JBI) bukan lagi hal baru. Dia mencontohkan angkutan barang dengan truk wing box rute Jakarta-Surabaya, yang tarifnya sekitar Rp7 juta (tarif setelah penaikan harga BBM).
"Dalam praktiknya, pemilik barang memaksa pemilik angkutan barang untuk mengangkut 25 ton, yang mana harusnya hanya diizinkan 12 ton. Itu sudah berlangsung sekian lama."
Sugi mendukung agar inisiatif kebijakan Indonesia Zero ODOL 2023 tetap diberlakukan. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai regulator terkait didorong untuk menyampaikan kepada pengusaha melalui sosialiasi mengenai aturan muatan truk barang.
Tidak hanya sosialisasi, saat kebijakan mulai berlaku, SCI mendorong agar truk sarat muatan yang masih ditemukan di jalanan untuk diminta putar balik. Tujuannya, agar ada efek jera bagi pemilik barang.
"Kalau putar balik, itu posisinya pemilik barang wajib bayar ke pemilik angkutan atau driver. Biar [pengusaha] berpikir dua kali [jika ingin gunakan ODOL]. Kalau tilang, itu lari ke pemilik angkutan atau driver," imbuh Sugi.
Dia menepis kekhawatiran pengusaha terkait dengan potensi naiknya ongkos angkutan barang, jika penggunaan truk sarat muatan dilarang. Apalagi, tarif angkutan juga belum lama ini dinaikkan lantaran penaikan harga BBM.
Selanjutnya, ongkos angkutan barang yang semakin tinggi juga dikhawatirkan bakal mengerek harga barang hingga pada level end-user atau konsumen.
"Berdampak bagi kenaikan harga barang itu tidak berlangsung lama. Pengusaha sudah menikmati ODOL, dan mereka harusnya comply sejak 15 tahunan yang lalu. Kalau ini di KUHP bisa dipidana, tapi kan ini hanya di UU Lalu Lintas, jadi cincai saja," terangnya.
Untuk itu, guna mengimbangi dominasi angkutan jalan untuk kegiatan logistik, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai pemerintah harus menggulirkan subsidi untuk moda angkutan lain, contohnya kereta barang.
"Adakan PSO atau subsidi angkutan KA, supaya barang dari Jawa Timur terangkut KA. Negara harus hadir untuk menyelamatkan angkutan logistik," pungkas Djoko.