Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Ronny P. Sasmita

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Mencermati Pergerakan Inflasi Oktober

Tertekannya pendapatan personal masyarakat, menjadi salah satu penyebab inflasi di bulan Oktober langsung terjun bebas.
Kebutuhan pokok di pasar tradisional./Ilustrasi-Bisnis
Kebutuhan pokok di pasar tradisional./Ilustrasi-Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Berdasarkan data dari BPS, inflasi Oktober 2022 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Angka tersebut tampaknya cukup untuk meredakan kekhawatiran pemerintah dan Bank Indonesia atas ancaman inflasi yang kerap digaungkan beberapa waktu lalu.

Namun, raihan tersebut sangat bisa dipahami karena efek kenaikan harga BBM sudah berlalu. Kenaikan harga-harga komoditas pokok akibat kenaikan BBM lebih banyak terjadi di bulan September. Sebagaimana yang telah disaksikan, harga-harga langsung naik setelah harga BBM baru diumumkan, mulai dari harga transportasi sampai harga bahan pokok. Artinya, efek lanjutannya di Oktober tidak terlalu signifikan.

Harga komoditas pokok pada Oktober sudah mulai memasuki pola yang cukup normal. Keseimbangan antara permintaan dan penawaran (demand and supply) untuk sementara waktu mulai terbentuk, sampai faktor pendorong lain datang seperti kenaikan UMR dan kembali memanasnya harga komoditas dunia.

Bahkan untuk makanan dan minuman secara month-to-month tercatat minus, walaupun secara year-on-year dan year-to-date tercatat naik cukup signifikan. Namun, perlu juga diperhatikan bahwa lompatan turun yang cukup tajam inflasi Oktober sebesar 0,11 persen dari September 1,17 persen mengindikasikan permintaan yang mulai melemah, selain faktor kerjaminan supply di pasaran.

Kenaikan harga akibat penyesuaian harga BBM pada September akan menekan permintaan masyarakat terhadap barang-barang tertentu (yang disubstitusikan), tetapi tidak memberikan pengaruh pada output ekonomi karena harga-harga barang di sisi lain justru naik. Sehingga perhitungan output ekonomi berdasarkan rupiah yang berlaku tidak terlalu berubah, padahal sebenarnya ekonomi riil mengalami tekanan yang cukup keras, yakni deflasionary pressure.

Mengapa? Karena sebagian besar pendapatan satu orang pada akhirnya akan menjadi pengeluaran yang kemudian menjadi pendapatan bagi orang lain. Penurunan pengeluaran sebesar Rp300.000 per orang (akibat penyesuaian perilaku konsumsi karena kenaikan harga BBM), misalnya, akan menurunkan permintaan atas beberapa produk dan jasa yang dihasilkan pihak lain, sehingga memicu pengurangan pendapatan pihak lain tersebut

Karena itu pula, imbas pergeseran angka inflasi bulan September atas kenaikan harga BBM mungkin tidak terlalu bombastis, karena model perhitungan inflasi yang tidak sama antara inflasi inti, inflasi umum, dan inflasi pada pendapatan per­orangan. Inflasi inti atau core inflation (CI) yang digunakan BPS atau BI tidak memasukkan harga energi sehingga imbasnya nanti tidak akan terlalu tinggi.

Pun imbasnya terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK) alias Consumer Price Index (CPI) yang juga tidak akan terlalu tinggi karena CPI memasukkan ribuan jumlah harga barang sebagai komponennya sehingga pergeseran pada beberapa harga barang tidak terlalu berpengaruh pada harga median keseluruhan barang.

Namun, untuk inflasi barang-barang kebutuhan pokok tertentu yang tak bisa diatur pemerintah, inflasinya naik cukup tinggi seperti harga minyak goreng, cabai, telur, beras, dll, yang sangat berpengaruh pada pengeluaran masyarakat.

Dengan kata lain, CI dan CPI boleh saja rendah atau terbilang moat yang kemudian secara makro terlihat cukup aman, tetapi secara riil akan sangat memberatkan masyarakat jika Personal Consumer Expenditures Price Index (PCEPI) tidak terkendali.

Dalam hemat saya, tertekannya “pendapatan personal” masyarakat ini menjadi salah satu sebab mengapa inflasi di bulan Oktober langsung terjun bebas menjadi 0,11 persen setelah mencatatkan kenaikan yang cukup tajam di bulan September 1,17 persen. Artinya, penurunan terjadi bukan saja karena keterjaminan supply, tetapi juga karena penurunan permintaan sehingga untuk komoditas makanan dan minuman.

Pemerintah perlu mulai waspada soal ancaman pelemahan permintaan. Dengan kata lain, pemerintah perlu memantau secara teliti penurunan inflasi ini karena menurut saya penurunan inflasi ini juga terkait dengan penurunan permintaan yang akan menjadi salah satu pertahanan ekonomi nasional (konsumsi rumah tangga) dalam menghadapi resesi global di tahun depan.

Jika ternyata memang demikian, maka di sisi lain telah terjadi penurunan daya beli. Untuk itu, pemerintah perlu menyiapkan berbagai skema kebijakan antisipatif untuk memitigasi penurunan permintaan dan daya beli ini baik dalam bentuk kebijakan bantuan sosial kemasyarakatan maupun kebijakan untuk memitigasi pemutusan hubungan kerja lebih lanjut di satu sisi dan kebijakan proaktif untuk mendorong investasi baru di sisi lain.

Pun secara moneter, BI perlu menimbang untuk tidak menaikan lagi suku bunga, meskipun The Fed kembali menaikan suku bunga. Setidaknya, BI harus menunggu sampai data PDB kuartal ketiga dikeluarkan BPS untuk mengetahui besaran output ekonomi di satu sisi dan proyeksi besaran uang beredar yang dibutuhkan di sisi lain. Status quo suku bunga ini diperlukan agar beban dunia usaha untuk mendapatkan likuiditas segar tidak terlalu sulit.

Lantas, setelah diumumkan bahwa data inflasi ternyata rendah, apakah Indonesia kemudian makin kebal terhadap resesi? Dalam hemat saya, tidak ada jaminan untuk itu. Justru turunnya inflasi ini harus dilihat secara kritis. Jika penyebab utamanya adalah pelemahan permintaan, maka pemerintah perlu mulai khawatir karena Indonesia justru akan semakin rentan terhadap tekanan resesi global, terutama dari sisi deflasi dan penurunan permintaan. Untuk itu, daya beli dan permintaan harus benar-benar dijaga, jika me­mungkinkan ditingkatkan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper