Bisnis.com, JAKARTA — Sinyal normalisasi harga komoditas secara global berpotensi membuat penerimaan negara dari sisi pajak mengalami tekanan. Hal ini terindikasi sebagai pertimbangan utama mengapa pemerintah tidak mematok target yang terlampau tinggi.
Pemerintah memang menargetkan penerimaan pajak pada 2023 sebesar Rp1.715,1 triliun, naik 15,49 persen dibandingkan dengan target Perpres 98/2022. Namun, menurut Manajer Riset CITA Fajry Akbar, target penerimaan pajak tahun 2023 tersebut hanya tumbuh 3,43 persen dibandingkan dengan capaian penerimaan pajak tahun ini yang diperkirakannya mencapai Rp1.658,3 triliun.
Dia menyampaikan, penerimaan pajak pada tahun depan akan diwarnai sejumlah tantangan. Pertama, yaitu harga komoditas yang diproyeksi menurun pada tahun depan.
“Jika kita memperhatikan harga komoditas, mulai terjadi tren penurunan di akhir bulan Juni 2022. Jika penurunan ini terus berlanjut hingga tahun depan, akan menjadi tantangan bagi penerimaan pajak,” katanya, Selasa (16/8/2022).
Sebagaimana diketahui, penerimaan pajak pada 2022 terbantu oleh kenaikan harga komoditas. Penerimaan pajak sektor pertambangan misalnya, melonjak sebesar 262,1 persen secara tahunan.
Di samping harga komoditas, Fajry mengatakan kenaikan inflasi yang tinggi dan rencana pengetatan moneter juga akan menjadi tantangan ke depan.
Rencana kenaikan tingkat suku bunga oleh beberapa bank sentral, terutama the Fed akan menyebabkan kontraksi ekonomi di berbagai negara, termasuk negara berkembang seperti Indonesia. Krisis pangan dan energi sebagai dampak dari krisis geopolitik antara Ukraina dan Rusia juga masih menjadi ancaman.
“Penerimaan pajak yang merupakan hilir dari aktivitas ekonomi pasti akan terdampak,” katanya.
Tantangan ketiga, penerimaan pajak pada 2022 juga terbantu oleh Program Pengungkapan Sukarela (PPS) sebagai implementasi dari UU HPP. Namun, program ini tidak berulang pada tahun depan.
Keempat, Fajry memperkirakan implementasi konsensus pajak global pillar I dan pillar II akan molor dari waktu yang seharusnya akibat eskalasi politik di beberapa negara Uni- Eropa dan Amerika Serikat. Padahal, konsensus global ini diharapkan akan menghasilkan penerimaan bagi negara pasar serta penghasilan dari disinsentif dari praktik BEPS.
“Mengingat banyaknya tantangan penerimaan pajak di tahun 2023, seperti penurunan harga komoditas serta Program PPS yang tak terulang di tahun 2023, menurut kami, target penerimaan pajak tahun 2023 rasional dan terukur,” kata dia.