Bisnis.com, JAKARTA — Target atau outlook penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tahu ini tercatat turun 6,2 persen dari target awal dalam perubahan APBN 2022.
Penurunan daya beli masyarakat dinilai tercermin dari melorotnya target dua pajak atas konsumsi itu.
Berdasarkan Laporan Pemerintah tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Semester Pertama Tahun Anggaran 2022, terdapat potensi kenaikan penerimaan pajak 2022 menjadi Rp1.608,1 triliun.
Angka itu naik 8,3 persen dari target Perpres 98/2022 senilai Rp1.485 triliun, yang juga sudah naik dari rencana awal APBN 2022 senilai Rp1.265 triliun.
Meskipun begitu, pemerintah ternyata menurunkan target penerimaan pajak atas konsumsi.
Dalam Perpres 98/2022, target PPN dan PPnBM dipatok Rp639 triliun, tetapi dalam outlook terbaru turun 6,2 persen atau Rp40 triliun menjadi Rp599 triliun.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto menilai bahwa turunnya target penerimaan PPN dan PPnBM mengindikasikan tekanan daya beli masyarakat.
"Penyebabnya, kenaikan harga komoditas memicu inflasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia," ujarnya Wahyu kepada Bisnis, Selasa (19/7/2022).
Menurutnya, tekanan daya beli masyarakat terkonfirmasi dari prognosis asumsi makro di sisi pertumbuhan ekonomi, yang diperkirakan berada di rentang 4,9 persen—5,4 persen pada 2022.
Wahyu menilai realisasinya berpotensi lebih rendah dari target APBN 2022 yakni 5,2 persen.
Asumsi laju inflasi pun diperkirakan akan terealisasi di rentang 3,5 persen—4,5 persen, sehingga terdapat kemungkinan capaiannya melebihi proyeksi inflasi dalam APBN 2022 di 3±1 persen atau 3—4 persen. Pada Juni 2022, inflasi telah mencapai 4,2 persen.
"Kenaikan harga akan terasa langsung pada penerimaan PPN dibandingkan penerimaan pajak lainnya. Sebab, PPN dan PPnBM merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa," katanya.
Memang, menurut Wahyu, di satu sisi kenaikan harga akan memperbesar dasar pengenaan PPN atas penyerahan barang dan jasa. Namun, di sisi lain, jika kenaikan harga menyebabkan orang malas belanja akan berdampak negatif terhadap kinerja PPN dan PPnBM.
Menurutnya, hampir setiap penurunan konsumsi rumah tangga akan diikuti dengan penurunan penerimaan PPN dan PPnBM di tahun tersebut. Begitupun ketika nilai PDB atas konsumsi rumah tangga meningkat.
Dia menilai kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen memang akan menambah penerimaan, tetapi sepertinya tekanan yang diberikan dari kemungkinan melemahnya daya beli masyarakat akan jauh lebih besar.
"Dalam konteks ini, saya melihat kuncinya ada di respons pemerintah terhadap potensi penurunan daya beli akibat kenaikan harga komoditas" imbuhnya.