Bisnis.com, JAKARTA – The State of Food Security and Nutrition in the World 2022 mencatat angka kelaparan penduduk dunia mencapai 828 juta orang pada 2021. Angka itu meningkat 46 juta orang dibandingkan 2020 yang mencapai 782 juta orang.
Ketua Departemen Luar Negeri Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (SPI) Zainal Arifin Fuad mengatakan krisis pangan di atas terjadi tidak hanya karena kekurangan suplai tetapi pada permasalahan keterjangkauan dan pemusatan produksi pangan. Walakin, hal tersebut memicu terjadinya spekulasi pangan yang kemudian menimbulkan naiknya harga pangan dunia.
"Inilah kegagalan sistem pangan dunia – yang menerapkan perdagangan pasar bebas melalui WTO dan perjanjian perdagangan pasar bebas. Sebagai konsekuensinya, impor pangan tidak terhindarkan walau impor tidak selalu karena kekurangan produksi dan sekaligus mengutamakan orientasi ekspor dibandingkan orientasi memenuhi kebutuhan nasional," ujar Zainal dalam siaran persnya, Senin (11/7/2022).
Dia mengatkaan solusi krisis pangan yang ada tawarannya selalu sama, yaitu pasar bebas dan terbuka. Hal ini bisa dilihat dari berbagai rekomendasi dari UNFSS 2021, WEF Mei 2022, pertemuan G7 Juni 2022, WTO Jenewa, Juni 2022 dan bahkan apa yang disampaikan oleh FAO pada peluncuran SOFI 2022, yakni komitmen dan fleksibilitas sesuai aturan WTO.
“Tentu hal yang patut dipertanyakan kenapa mesti memakai solusi atau resep yang sama?," ucapnya.
Zainal mengemukakan solusi yang dibutuhkan untuk mengatasi kelaparan dan kegagalan sistem pangan dunia adalah dengan menerapkan kedaulatan pangan.
"Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional," terangnya.
Zainal menambahkan terkait tanah, sebagai faktor produksi utama bagi petani, kedaulatan pangan mengharuskan reforma agraria dilaksanakan, sebagai upaya pengakuan dan pemenuhan hak atas tanah bagi petani, sebagai alat produksinya. Hal tersebut berbeda dengan kondisi saat ini, tanah sebagian besar dikuasai oleh Korporasi.
"Dalam konteks model produksi, kedaulatan pangan mensyaratkan pertanian agroekologi, bukan pertanian ala revolusi hijau yang membuat petani ketergantungan terhadap input produksi kimia. Begitu juga dengan model distribusi, orientasi terhadap kebutuhan lokal dan wilayah menjadi utama, mengingat perdagangan dan pasar bebas yang dipromosikan oleh sistem pangan global nyatanya tidak memberikan pendapatan yang layak kepada kaum tani," imbuhnya.
Menurut dia, pemerintah berperan memastikan agar faktor-faktor produksi (tanah dan air), akses terhadap benih lokal, akses terhadap pasar dan bantuan keuangan dinikmati secara utuh oleh petani dan produsen pangan skala kecil di perdesaan. Hal ini menjadi penting mengingat petani dan produsen pangan skala kecil sebagai aktor utama yang menghasilkan pangan di dunia, bukan korporasi.
"Pada akhirnya, resep-resep ala ketahanan pangan tersebut gagal menjawab masalah kelaparan, terbukti dengan terjadinya krisis pangan global di tahun 2008 dan juga meningkatnya angka kelaparan dan kemiskinan sampai saat ini," tuturnya.
Sebelumnya, lima lembaga di bawah PBB mengeluarkan Laporan The State of Food Security and Nutrition in the World 2022 (Sofi) pada Rabu siang waktu New York, Amerika Serikat (6/7/2022). Laporan tersebut mencatat angka kelaparan penduduk dunia mencapai 828 juta orang pada 2021. Angka tersebut meningkat 46 juta orang dibandingkan 2020 (782 juta orang) dan meningkat 150 juta orang jika dibandingkan sebelum terjadinya pandemi Covid-19.
Dengan data terakhir ini, PBB memprediksi jumlah angka kelaparan pada 2030 mendatang lebih dari 670 juta orang dan angka ini jauh di atas target program zero hunger.