Bisnis.com, JAKARTA - Laporan Global Risk tahun 2022 (WEF, 2022) mengidentifikasi bahwa dari 10 risiko paling parah dalam skala global selama 10 tahun ke depan, lima di antaranya disebabkan oleh risiko perubahan iklim.
Temuan tersebut sejalan dengan laporan Swiss Re Institute (Swissre, 2021) yang memprediksi dampak ekonomi dari kenaikan suhu global 3,2 derajat celcius pada tahun 2050 berupa potensi kehilangan hingga 18 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) jika tidak ada tindakan yang diambil terhadap perubahan iklim.
Selepas dari pandemi Covid-19, perekonomian global dihadapkan pada sejumlah tantangan (IMF, 2021).
Pertama, kompleksitas tatanan geopolitik berpengaruh pada perdagangan global termasuk kinerja rantai pasokan dan jaringan sistem keuangan. Dinamika tersebut dapat mengubah lanskap kerja sama multilateral dan arah globalisasi secara lebih umum.
Kedua, perkembangan teknologi digital seperti digitalisasi dan otomatisasi akan memainkan peran utama dalam mendorong pertumbuhan inklusif dan jangka panjang. Interaksi dengan perubahan demografi dapat menata ulang berbagai bentuk industri dan sektor termasuk sistem keuangan global.
Ketiga, keniscayaan transformasi struktural melalui katalisator pandemi memacu perubahan teknologi, otomatisasi, dan realokasi rantai pasokan sehingga menghadirkan tantangan dan peluang sekaligus.
Baca Juga
Keempat, perubahan iklim dan pemanasan global akan menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi makroekonomi dan keuangan termasuk merugikan beberapa negara secara tidak proporsional. Kebijakan untuk memitigasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim tentu memiliki konsekuensi fiskal dan keuangan yang dapat memengaruhi prospek ekonomi banyak negara.
PERUBAHAN IKLIM
Penanganan perubahan iklim memerlukan sejumlah langkah nyata. Pertama, memperkuat arsitektur informasi iklim yang mencakup data, pengungkapan, dan prinsip untuk klasifikasi keuangan berkelanjutan.
Kedua, meningkatkan kerangka penilaian risiko iklim dan dengan mengembangkan strategi mitigasi yang tepat guna stabilitas risiko keuangan. Ketiga, strategi adaptasi dengan memasukkan risiko iklim dalam kerangka peraturan dan pengawasan untuk mengembangkan kerangka kehati-hatian.
Keempat, menyesuaikan kebijakan moneter, dan operasi bank sentral guna memasukkan implikasi makroekonomi dari perubahan iklim. Perekonomian dunia pada 2040 akan dibentuk oleh efektivitas tindakan yang diambil hari ini terutama terkait dengan risiko transisi iklim.
Pemerintah Indonesia menyadari dan menyiapkan berbagai langkah kebijakan dalam menyikapi berbagai prediksi dan risiko yang akan ditimbulkan oleh perubahan iklim. Salah satu upaya yang didorong adalah sinergi dalam implementasi green economy dengan target tercapainya pengurangan emisi sebesar 29 persen secara mandiri atau 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Guna mencapai target tersebut diperlukan pendanaan yang memadai dan dapat diperkirakan jumlah serta opsi pendanaannya sekaligus mencapai target pembangunan. Pembiayaan hijau makin dibutuhkan sejalan dengan tuntutan keberlanjutan lingkungan di berbagai sektor, termasuk keuangan.
Meskipun demikian, pengembangan pembiayaan hijau di Indonesia memiliki sejumlah tantangan.
Pertama, implementasi standarisasi sektor hijau. Walaupun OJK telah menerbitkan taksonomi hijau dan membaginya dalam 2.733 klasifikasi sektor dan sub-sektor ekonomi, tetapi realisasi pembiayaan masih terbatas. Kedua, kurangnya insentif pembiayaan ke sektor-sektor hijau sehingga minat sektor keuangan rendah. Insentif diperlukan sebagai kompensasi atas potensi risiko yang timbul karena pembiayaan masuk ke dalam sektor yang relatif baru dan pengalaman mengelola risiko yang terbatas.
Ketiga, potensi tambahan biaya dalam penentuan sektor pembiayaan hijau karena menggunakan pihak eksternal untuk memenuhi verifikasi atas proyek hijau. Keempat, ketidakjelasan kategori green dan non-green pada instrumen keuangan terutama pada penentuan harga. Hal tersebut menjadi pertimbangan bagi sektor keuangan yang akan masuk dalam pembiayaan hijau.
Selain tantangan di atas, sektor keuangan dan perbankan juga memiliki beberapa kendala untuk mengimplementasikan keuangan berkelanjutan.
Pertama, sektor perbankan dan keuangan baru pulih dari krisis akibat pandemi Covid-19. Kedua, potensi lonjakan pembiayaan yang macet karena belum terbiasa dengan bisnis kategori hijau dan risiko kegagalan tinggi. Ketiga, persepsi risiko tinggi pada perbankan karena rendahnya standar lingkungan dan tidak ada kewajiban No Deforestation, Peat and Exploitation (NDPE) bagi debitur (Amalia, 2022). Keempat, perbedaan persepsi dunia usaha terkait dengan ekonomi hijau sehingga menghambat optimalisasi pembiayaan.