Bisnis.com, JAKARTA- Pelaku usaha menilai terdapat beberapa hambatan yang bakal menjegal kinerja moncer industri petrokimia, salah satunya kebijakan fiskal dan impor.
Ketua umum Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Suhat Miyarso mengatakan hambatan industri petrokimia ada tiga, seperti bidang administrasi atau peraturan, Fiskal dan serbuan produk impor.
“Untuk bidang administrasi, perizinan lahan lewat OSS BKPM masih belum bisa menyelesaikan, belum lagi ketentuan lahan yang harus bayar PPN tidak bisa dikredit, jelas ini membuat sulit pengusaha atau investor. Di UU Cipta Kerja memang sudah tertera, namun hingga saat ini belum terlaksana, serta serbuan produk impor jika tidak dibatasi akan merusak produk petrokimia dalam negeri,” ungkap Suhat dikutip dari siaran pers, Kamis, (16/6/2022).
Lebih lanjut, dia mengatakan rencana penurunan bea masuk sampai 0 persen sangat memberatkan industri petrokimia dan membuat investor ketar ketir, terutama berkaitan potensi impor petrokimia dari UEA.
“Industri petrokimia di Timur Tengah menggunakan bahan baku berupa ethane gas yang pabriknya terintegrasi dengan kilang minyak sehingga notabene harga petrokimianya lebih murah. Sebab ethane gas yang sudah diolah menjadi monomer harganya US$ 300 per ton sedangkan harga nafta sudah di kisaran US$ 800 hingga US$ 900 per ton,” ujarnya.
Sebaliknya saat ini, Indonesia masih menngimpor 50 persen polymer dan bahan baku plastik sehingga terbukan impor produk jadi akan menjadi bencana bagi industri petrokimia lokal. “Saat ini saja, utilisasi pabrik petrokimia sudah turun di bawah 90% dari yang sebelumnya beroperasi hampir pada kapasitas penuh,” jelas Suhat.
Baca Juga
Senada, Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono mengatakan rencana penurunan bea masuk untuk bahan baku plastik akan sangat mengancam industri petrokimia dalam negeri yang saat ini sedang gencar membangun dan berbagai macam investasi. “Pasalnya dengan rencana tersebut akan menghilangkan kepercayaan investor, karena bahan baku dari UEA akan banjir di dalam negeri,” ujar dia
Fajar mengatakan semestinya UEA tidak berencana mengajukan opsi penurunan bea masuk, karena hal tersebut tidaklah fair dalam perdagangan bilateral. Pemerintah harus bisa mendorong UEA untuk membangun pabrik petrokimianya di sini, agar kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan. Apalagi kita sedang banyak membangun pabrik petrokimia di dalam negeri.
Terpisah, Wakil Ketua Komite Tetap Industri Kimia Hulu Kadin Edi Rivai mengatakan rencana tersebut sangat memberatkan industri petrokimia bagan baku plastik yang sudah ada kita bangun selama ini dan juga sedang kita lakukan ekspansi besar. “Kalau disetujui pemerintah maka akan menjadi ancaman industri petrokimia dalam negeri yang sedang giat membangun dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan Produk Polyethylene LLDPE,” katanya.
Menurut Edi masalah liberalisasi FTA IUAE perlu dukungan dari Menteri Perdangan dan Menperin untuk mengawal produk polymer HS 39 khususnya PP dan PE dikeluarkan dari permintaan UEA. “Jika keran HS39 dibuka maka terdapat cost sangat signifikan terhadap neraca perdagangan Indonesia pada bahan baku PE dan PP sebesar Rp 65,15 T, dari pertumbuhan permintaan yang tidak diikuti oleh pertumbuhan produksi domestik yang mati karena investasi yang tidak terealisasi,” tukas Edi.