Bisnis.com, JAKARTA – Di saat sejumlah negara penghasil baja sudah bergerak mengatur standardisasi hijau, inisiasinya di industri domestik masih jauh panggang dari api.
Ketua Umum Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim mengatakan standardisasi hijau untuk industri baja di dalam negeri baru sekadar rencana. Indonesia saat ini juga belum memiliki peta jalan untuk menghijaukan industri baja yang dikenal dengan sebutan 'mother of industry' tersebut.
"Yang basic saja seperti SNI [Standar Nasional Indonesia] belum diatur wajib di seluruh lini produk hulu-hilir, apalagi yang advance seperti green label," kata Silmy kepada Bisnis, Jumat (22/4/2022).
Urgensi penerapan standarisasi hijau pada produk baja didorong persiapan pewajiban label tersebut di sejumlah pasar tujuan ekspor seperti Australia, Amerika Serikat, dan Eropa.
Sejauh ini, untuk memenuhi tuntutan standarisasi hijau sejumlah tujuan ekspor tersebut, upayanya bergantung pada masing-masing produsen baja.
Menurutnya, memang upaya untuk melabeli produk baja domestik dengan standar hijau perlu dipercepat karena selain berkaitan dengan ekspor, juga akan menjadi patokan kualitas produk impor yang masuk.
Jika tidak segera dikejar, Indonesia bisa menjadi pasar buangan bagi produk baja tanpa standardisasi hijau.
"Seharusnya Indonesia juga mengantisipasi karena selain urusan produk Indonesia untuk pasar ekspor, juga kaitannya dengan produk impor yang masuk," jelasnya.
Dihubungi terpisah, Chief Strategy Officer PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk. (ISSP) Johanes Edward mengatakan tantangan terbesar dalam hal ini adalah belum adanya badan standardisasi hijau untuk baja.
Sementara itu, label hijau di sejumlah negara tujuan ekspor ISSP hingga saat ini belum bersifat wajib.
"Sejauh ini belum mandatory. Yang mandatory adalah UL [Underwriters Laboratories, organisasi keamanan produk di AS] approved, yang memang telah didapatkan oleh Spindo," katanya.
Adapun, upaya untuk mengurangi emisi karbon saat ini dilakukan perseroan dengan mengalihkan sebagian penggunaan daya ke panel surya. Sejak dua tahun lalu, kata Johanes, upay tersebut terus dilakukan agar porsi penggunaan energi baru terbarukan semakin dominan.