Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jalan Terjal Menuju Normalisasi Defisit 2023

Upaya menormalisasi defisit fiskal hingga di bawah 3 persen mengalami tantangan seiring dengan sulitnya mendongkrak penerimaan negara.
Gedung Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Bisnis/Abdurachman
Gedung Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA - Upaya untuk mendongkrak penerimaan negara juga menghadapi jalan terjal menyusul rapuhnya struktur penerimaan akibat tingginya ketergantungan pada Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan komoditas, serta ancaman lemahnya daya beli lantaran kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Hal ini pun menjadi tantangan untuk mengembalikan defisit fiskal ke kisaran di bawah 3 persen pada 2023. 

“Tidak mudah normalisasi defisit karena ada beberapa penerimaan negara yang cenderung tidak sustain, dan ini bermuara pada belanja yang makin dihemat,” ujar Anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan Ajib Hamdani kepada Bisnis, Minggu (17/4).

Ajib menambahkan, sejalan dengan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen, implementasi pajak karbon, serta kenaikan tarif cukai hasil tembakau akan mendorong penerimaan negara pada tahun depan.

Akan tetapi menurutnya, tidak mudah untuk bisa mengumpulkan penerimaan negara sesuai target, karena ada beberapa penerimaan negara yang cenderung tidak sustain. Antara lain, risiko pelemahan daya beli masyarakat hingga tingginya ketergantungan penerimaan pada harga komoditas.

Ajib menilai, agar penerimaan negara relatif aman, pertumbuhan ekonomi pada tahun ini wajib berada pada batas bawah 5 persen, sehingga ekonomi menemukan momentum untuk terus tumbuh pada tahun depan.

“Ketika terjadi potensi shortfall penerimaan 2023, ada kemungkinan pemangkasan belanja negara, untuk membuat penyesuaian agar defisit tetap terjaga di bawah 3 persen,” ujarnya.

Senada, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani melihat banyak ketidakpastian kondisi saat ini untuk mencapai target defisit anggaran di bawah 3 persen. Menurutnya, hal tersebut salah satunya terlihat dari lonjakan harga minyak dan komoditas lain.

“Ketidakpastiannya tinggi, lihat dari harga minyak, mau enggak mau pemerintah harus melakukan penyesuaian-penyesuaian,” ujarnya.

Dia mengatakan bahwa jika pemerintah ingin melakukan konsolidasi fiskal tersebut, konsekuensinya adalah pengetatan pengeluaran.

Jika dicermati, konsolidasi fiskal telah ‘dicicil’ oleh pemerintah sejak tahun ini yang ditandai dengan implementasi UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Beleid anyar itu diyakini mampu menggali penerimaan yang lebih dalam.

Adapun dari sisi belanja, penghematan telah dilakukan sejak awal tahun. Hal itu tecermin dari tercatatnya surplus anggaran selama dua bulan pertama tahun ini.

Normalisasi defisit juga berimplikasi pada tertahannya penarikan utang baru melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini pun telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun lalu dengan menahan emisi surat utang dengan memaksimalkan penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL).

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Rendy Yusuf Manilet menuturkan, pertumbuhan belanja yang dirumuskan pada tahun depan terlampau rendah sehingga membawa konsekuensi yang berat.

Menurutnya, penghematan ini akan memangkas efek berganda belanja terhadap pertumbuhan ekonomi. Yusuf menilai, pengiritan belanja bisa saja dilakukan sepanjang pemerintah telah berhasil menangani berbagai dinamika yang menggerus daya beli masyarakat.

Terkait dengan optimalisasi penerimaan, Yusuf berpandangan masih cukup berat untuk tahun depan. Pasalnya, selama beberapa tahun terakhir kenaikan setoran negara lebih disumbang oleh faktor windfall harga komoditas.

“Kuncinya ada di penerimaan. Apabila penerimaan bagus maka penghematan belanja bisa saja tidak dilakukan,” katanya.

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai kebijakan menghemat belanja akan menekan daya beli masyarakat. Terlebih, alokasi yang dipangkas berasal dari perlindungan sosial.

Jika ditengok, alokasi perlindungan sosial dalam APBN 2022 mencapai Rp431,5 triliun, sedangkan pada tahun depan dipangkas menjadi Rp349 triliun—Rp332 triliun.

“Jika kenaikan harga kebutuhan pokok dan energi bersifat persisten hingga 2023, sebaiknya anggaran perlindungan sosial dinaikkan kembali,” kata Bhima.

Dia juga menyarankan agar pemerintah menunda berbagai proyek infrastruktur yang tidak mendesak dan dialihkan untuk mendorong penguatan daya beli masyarakat.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa APBN 2023 tetap diposisikan sebagai pendukung utama pemulihan ekonomi melalui berbagai program pembangunan nasional.

Menkeu menambahkan, postur anggaran 2023 masih cukup fleksibel dengan mengacu pada dinamika serta perkembangan ekonomi terkini.

“Kita masih akan terus mengkalibrasikan dan mempertajam pada perhitungan untuk belanja, baik pusat maupun ke transfer ke daerah, dan juga estimasi penerimaan negara,” kata Menkeu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper