Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menakar Kenaikan Tarif Penerbangan di Tengah Tekanan Harga Avtur

Maskapai nasional berharap pemerintah kembali mengkaji tarif penerbangan di tengah tekanan harga avtur akibat perang Rusia-Ukraina.
Bandara Hang Nadim, Batam. /batam-airport.com
Bandara Hang Nadim, Batam. /batam-airport.com

Bisnis.com, JAKARTA - Sejak Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari 2022, tingkat konflik dan dampaknya belum menunjukkan tanda-tanda mereda.

Harga minyak dunia menjadi salah satu dampak langsung perang Rusia-Ukraina. Terbaru, harga minyak dunia melemah pada akhir perdagangan Selasa (22/3/2022) waktu AS. Namun, harga minyak mentah itu masih tergolong mahal mahal karena masih bercokol di level US$115 per barel.

Kenaikan harga minyak dunia tentu saja merembet ke harga avtur. Bahan bakar pesawat ini menjadi komoditas penting bagi maskapai, yang saat ini berjuang untuk bangkit selepas efek pandemi.

Harga avtur yang melambung membuat beban operasional maskapai makin berat. Satu-satunya solusi jangka pendek adalah dengan menaikkan tarif penerbangan untuk meredam risiko kerugian.

PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) telah menyiratkan kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) agar kembali mengevaluasi Tarif Batas Atas (TBA) maskapai. Namun, tentunya penyesuaian tarif ini juga tetap harus dipastikan tetap sesuai dengan kemampuan dan daya beli masyarakat.

Terkait sinyal yang dilemparkan oleh maskapai pelat merah tersebut, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) masih bergeming. Dirjen Perhubungan Udara Novie Riyanto mengatakan masih tetap memantau dan mengevaluasi kenaikan avtur terhadap beban pengoperasian pesawat udara.

Meski demikian, selain evaluasi terhadap Tarif Batas Atas (TBA) sebagai alternatif, Novie mengindikasikan dapat memberlakukan biaya tambahan berupa fuel surcharge.

“Kebijakan ini dapat diberlakukan apabila fluktuasi harga avtur terjadi dalam jangka waktu 3 bulan berturut turut yang mengakibatkan kenaikan biaya operasi pesawat di atas 10 persen,” ujarnya, Rabu (23/3/2022).

Kondisi berbeda berlaku untuk tarif penumpang pesawat kelas non ekonomi. Novie menegaskan Kemenhub tidak melakukan pengaturannya dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar.

Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) Irfan Setiaputra pun memilih menunggu hasil akhir dari keputusan pemerintah tersebut. Irfan menyebut perseroan terus mengkaji berkala penaikan harga avtur saat ini terhadap beban operasi.

“Makanya kami selalu review dan tunggu kebijakan akhirnya dari pemerintah,” katanya.

Emiten berkode saham GIAA tersebut mengeklaim telah berkoordinasi dengan Kemenhub berkali-kali terkait hal ini. Namun, apabila ternyata harga minyak tak kunjung bersahabat dan belum ada tindak lanjut lebih jauh dari pemerintah, pihaknya juga akan mengambil langkah mengefektifkan rute-rute domestik agar tetap bisa menjual tiket pesawat.

“Kami terus berkomunikasi dengan Kementerian Perhubungan. Kalau tidak ada kesepakatan bersama, kami mesti melakukan adjusting jumlah penerbangan yang ada,” ujarnya.

Solusi atas penaikan harga avtur tentu bukan tanpa opsi. Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi) menyarankan maskapai nasional membebankan penaikan biaya avtur ke dalam tarif penumpang di kelas bisnis dibandingkan dengan kelas ekonomi yang saat ini masih diatur oleh Tarif Batas Atas (TBA).

Ketua Apjapi Alvin Lie mengatakan penaikan tarif dalam kondisi pandemi saat ini memang harus dipantau berdasarkan prinsip kewajaran.

“Kami berikan pertimbangan berdasarkan keadilan. Kami tidak ingin maskapai merugi, tetapi juga mempertimbankan daya beli masyarakat. Salah satunya subsidi silang, kemungkinan kenaikan lebih mahal dibebankan ke kelas bisnis,” ujarnya.

Menurutnya, walaupun pada akhirnya tarif pesawat harus naik tetapi sebaiknya tidak dilakukan secara permanen dengan penetapan TBA dan TBB. Pemerintah, sebutnya, bisa mempertimbangkan pengenaan surcharge atau tuslah hanya pada saat terjadinya peningkatan harga minyak dunia.

Di luar itu, Alvin juga menyarankan agar maskapai bisa menerapkan harga tiket secara fleksibel. Alvin menyebut sangat memungkinkan bagi maskapai untuk mengenakan tarif yang berbeda pada penerbangan di hari yang sama.

“Kami harap agar konflik Rusia-Ukraina segera usai sehingga harga minyak turun tapi jika perang berlanjut harus ada solusi adil bagi maskapai dan penumpang,” katanya.

Tarif Kelas Bisnis

Atas beberapa opsi tersebut, pemerintah juga mempersilakan maskapai penerbangan untuk menaikkan tarif kelas bisnis karena memang tidak diatur oleh pemerintah.

Direktur Angkutan Udara Kemenhub Maria Kristi menegaskan pemerintah telah memiliki aturan tentang penetapan Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB). Besaran penetapan sudah dihitung dengan cermat bersama dengan maskapai dan asosiasi.

“Kalau kelas bisnis kami nggak atur. Maskapai boleh memungut kelas bisnis lebih mahal. Kami mengatur TBA dan TBB di kelas ekonomi tapi untuk kelas bisnis tidak. Kalau namanya mahal di kelas bisnis kan ya pasti kan juga penumpangnya orang kaya,” ujarnya.

Garuda Indonesia mengakui bahwa saat ini margin dari bisnis penerbangan sudah tipis, sehingga imbas penaikan harga avtur ke biaya operasional akan signifikan. Dia menilai tak akan ada persoalan apabila harus menaikkan tarif kelas bisnis.

“Kalau yang naik bisnis ya mohon maaf memang saya akan jual agak mahal,” katanya.

Meski demikian, pemerhati penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soedjatman mengatakan kebijakan untuk menaikkan tarif kelas bisnis guna menutup lonjakan harga avtur hanya menguntungkan maskapai yang melayani kelas bisnis. Kondisi ini menciptakan ketidakadilan bagi maskapai yang tak melayani kelas bisnis.

Gerry menjelaskan saat ini kapasitas penumpang kelas bisnis hanya sebesar 1/10 sampai 1/4 dari kapasitas pesawat tersebut. Dia menilai tidak mungkin penaikan tarif di kelas bisnis dapat menutup biaya bahan bakar.

Dia juga menyebut saat ini tingkat keterisian kursi atau Seat Load Factor (SLF) maskapai masih rendah di luar peak season atau weekend , dan periode liburan. Maskapai pun juga telah melakukan subsidi silang menutupi kerugian low season dengan keuntungan dari peak season. Semakin tinggi maskapai meraup untung di peak season, maka bisa semakin rendah harga tiket yang bisa ditawarkan pada periode low season.

“Di Indonesia, Tarif Batas Bawah [TBB] nya terlalu tinggi buat low season, dan terlalu rendah buat peak season. Jadi memang harus disesuaikan baru. Haruslah, harga avtur juga sudah naik 25 persen dibandingkan dengan pada 12 bulan yang lalu,” ujarnya.

Persoalan penaikan avtur, sebutnya, mungkin tak akan terlalu dirasakan pada bulan ini karena masih dalam kondisi low season. Namun, pada saat lebaran dan libur pertengahan tahun akan berdampak besar pada kinerja keuangan maskapai.

Ketua Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja menuturkan bahwa kewenangan untuk menyesuaikan Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) ini berada di tangan Kemenhub. Denon menerangkan dalam penetapan tersebut dilakukan untuk menjaga profitabilitas maskapai dan daya beli masyarakat.

Menurutnya, kalau ada biaya penaikan avtur, penaikan TBA membuka peluang bagi maskapai untuk menyesuaikan tarifnya. Hal tersebut bisa menjadi pertimbangan bagi anggota INACA sebagai bentuk relaksasi dari pemerintah. Namun tentunya penyelenggara transportasi udara juga perlu memperhatikan daya beli masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper