Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

John Riady: Selamatkan Bumi & Manusia Tak Semata Laporan, tapi Upaya Berkelanjutan

Lippo Group menjadi perusahaan pertama asal Indonesia dan Asia Tenggara yang meneken komitmen Stakeholder Capitalisme Metric atau SCM yang digagas World Economic Forum (WEF). SCM merupakan serangkaian ketentuan dan penilaian terhadap dunia usaha yang berupaya menerapkan prinsip ESG (environmental social governance).
CEO Lippo Karawaci John Riady saat berkunjung ke kantor Bisnis Indonesia, di Jakarta, Selasa (19/3/2019)./Bisnis-Endang Muchtar
CEO Lippo Karawaci John Riady saat berkunjung ke kantor Bisnis Indonesia, di Jakarta, Selasa (19/3/2019)./Bisnis-Endang Muchtar

Bisnis.com, JAKARTA—Lippo Group menilai kehadiran alat ukur penerapan prinsip ESG dan keterlibatan konglomerasi tersebut sejalan dengan visi perusahaan sehingga seluruh pihak berupaya memberikan suatu nilai tambah dan solusi bagi kehidupan dan tidak sekadar orientasi profit.

Lippo Group menjadi perusahaan pertama asal Indonesia dan Asia Tenggara yang meneken komitmen Stakeholder Capitalisme Metric atau SCM yang digagas World Economic Forum (WEF). SCM merupakan serangkaian ketentuan dan penilaian terhadap dunia usaha yang berupaya menerapkan prinsip ESG (environmental social governance).

ESG sendiri merupakan inisiatif dari kalangan privat merespon desakan untuk menciptakan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Selanjutnya, spectrum ESG yang sangat luas dan beragam dalam penilaiannya, maka forum pertemuan perusahaan global yang dihelat bersamaan dengan pertemuan G20 pada Januari lalu, digagas SCM yang memantik adanya kaidah kuantitatif dan berlaku universal.

“Di sinilah kami berani dengan komitmen tersebut. Lebih penting lagi, proses penerapan SCM untuk mencapai visi ESG itu, adalah proses berkesinambungan, yang secara terus menerus harus dilakukan,” ungkap Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady.

John mengungkapkan muara dari penerapan ESG sangat berbeda dengan konsep CSR (corporate social responsibility) yang selama ini dikenal. Perbedaan mencolok, ungkapnya, terletak mulai dari tujuan dan pelaksanaan prinsip.

“Kalau CSR, antara usaha dan upaya memberikan kontribusi bisa tak sejalan. Operasi usaha di mana, memberikan bantuannya di mana. Kalau ESG ini penerapan sejak dari awal proses bisnis, hingga keseluruhan operasi yang dilihat adalah nilai tambah bagi lingkungan hidup, sosial, serta kesinambungan perusahaan," jelas John.

SCM sendiri telah dirumuskan menjadi empat kategori besar, yakni principle of governance, planet, people, dan prosperity. John menilai Lippo Group secara bertahap telah menerapkan standar pada empat kategori itu sejak tiga tahun belakangan dan membentuk Komite ESG.

Dari sisi governance, para anggota direksi sangat mendukung dan membangun tim sustainability yang kuat untuk menelaah dan menerapkan strategi bisnis berkesinambungan. Sedangkan dari kategori lingkungan (planet), sejak lama Lippo Group khususnya pada lini bisnis properti menerapkan pembangunan yang sejalan dengan pelestarian lingkungan hidup.

“Dalam hampir seluruh properti kami, baik residensial maupun komersial telah menerapkan teknologi yang mengelola air limbah dan pengelolaan air hujan untuk konsumsi. Kami advance di sana,” kata John.

Sedangkan untuk dua kategori lainnya, Lippo Group sangat mengedepankan aspek inklusivitas yang sangat menghargai perbedaan mulai dari pucuk pimpinan perusahaan hingga ke level paling bawah. Selain itu, kata John, dengan kondisi eksisting saat ini, Lippo Group telah banyak melakukan terobosan investasi serta merintis berbagai lini usaha yang mampu meningkatkan kesejahteraan para stakeholder.

John menilai bahasan mengenai SCM maupun ESG ini juga sejalan dengan tren pengembangan ekonomi digital. Mayoritas kehadiran perusahaan digital, katanya, hadir untuk memberikan solusi dan nilai tambah buat masyarakat.

“Inilah benang merah transformasi bisnis yang dilakukan Lippo Group, secara internal dan eksternal hingga strategi menghadapi perubahan digital,” kata John.

Sebaliknya, dia mengimbau agar penerapan core SCM maupun prinsip ESG tidak sekadar menjadi laporan ataupun perihal legal administratif semata. Misalnya, lanjut John, keharusan ini hanya ditempatkan sebagai kewajiban perusahaan menyusun laporan dengan indikator dan audit yang bisa diutak-atik.

“Sekadar menggugurkan kewajiban laporan. Padahal, seharusnya yang dinilai adalah proses berkesinambungan, ada baseline yang diukur adalah kemajuan dan peningkatan dalam penerapannya,” simpul John.

Terlebih lagi, dengan adanya rumusan terkait SCM, kalangan korporat bisa memadankan antara pelaksanaan ESG yang telah berjalan dengan panduannya. “Sebenarnya sudah banyak emiten dan perusahaan, apalagi startup yang telah menjalankan ESG ini, tetapi mereka mungkin belum mengetahui caranya seperti apa, menilainya bagaimana. Ini masih perlu sosialisasi dan edukasi,” tutup John

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Kahfi
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper