Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam mendorong ekonomi hijau dan pembangunan yang berkelanjutan.
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan bahwa Indonesia telah berkomitmen menerapkan Sustainable Development Goals (SDGs) dan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030.
Berdasarkan perhitungan Bappenas, pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia dengan dukungan internasional dapat turun hingga 41 persen.
“Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sudah dituangkan dalam berbagai kebijakan pembangunan, mulai pembangunan 5 tahun, pembangunan jangka pajang dalam rangka SDGs, dan rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca yang sudah ditetapkan pada 2011,” katanya dalam Webinar Bisnis Indonesia Green Economy Outlook 2022, Selasa (22/2/2022).
Namun demikian, Amalia menyampaikan, untuk menangani masalah perubahan iklim akan memiliki konsekuensi pendanaan, karena anggaran yang diperlukan tidaklah sedikit.
Selain itu, kebutuhan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membutuhkan kontribusi sektor swasta dan masyarakat, sehingga pendanaan juga diperlukan tidak hanya dari sisi pemerintah.
Baca Juga
Amalia menyampaikan, masih banyak tantangan lainnya yang dihadapi Indonesia untuk bisa mencapai SDGs. Pertama, dengan kebutuhan pembiayaan yang diperkirakan mencapai US$247,3 miliar, investor global memandang tingginya risiko di perbankan, karena rendahnya standar lingkungan dan tidak adanya kewajiban No Deforestation, Peat and Exploitation (NDPE) bagi debiturnya.
Kedua, adanya pandangan tingginya risiko kredit, dimana untuk sektor yang energi baru terbarukan atau sustainability business memiliki risiko yang besar.
Ketiga, pemahaman dan pendekatan pelaku usaha yang masih beragam. Amalia mengatakan, masih banyak perusahaan yang belum sadar akan pentingnya peduli lingkungan.
Keempat, pemanfaatan potensi energi terbarukan di Indonesia belum optimal padahal Indonesia memiliki potensi kapasitas energi baru terbarukan (EBT) yang sangat bagus. Misalnya, pembangkit listrik tenaga surya dengan potensi yang mencapai 207,9 giga watt, namun baru termanfaatkan 0,2 giga watt.
“Artinya kita masih memiliki ruang yang cukup besar untuk memanfaatkan potensi EBT yang kita miliki di Indonesia sehingga transisi ke EBT lebih cepat dan kita bisa segera memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca,” jelasnya.
Kelima, lanjut Amalia, Indonesia saat ini masih banyak bergantung pada sektor batu bara. Ketergantungan ini sedang diupayakan untuk bisa dikurangi.
Lebih lanjut, tantangan lainnya adalah pengolahan sampah dan limbah, yang menjadi isu krusial karena volume sampah di Indonesia semakin meningkat, sementara tempat penampungan sampah menyebabkan polusi dan emisi yg tidak sedikit.
“Selain itu sampah ini sebagian terbuang ke laut sehingga mencemari dan menurunkan kualitas laut Indonesia,” tuuturnya.
Dia menambahkan, sampah makanan pun berkontribusi sebesar 39,8 persen dari total sampah. Tercatat, sampah makanan hingga 2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun.
“Sebenarnya kalau dikaitkan dengan salah satu goal pada SDGs, bagaimana kita bisa menurunkan food waste, sangat penting bagaimana kita bisa mengubah perilaku masyarakat ke sustainable consumption," kata Amalia.